#DiariRK Pemaknaan Asrama September : "Cermin"

"Tuan, Tolong Belikan Aku Cermin


Bulan kedua dan masih soal atap yang menaungi para pemimpi nun anggun, ya Asrama Tiara. September, bulan yang penuh dengan drama-drama tidur malam tak terpecahkan. Transisi dari Agustus yang padat namun lebih rendah kadar stress, karena kita tak perlu pusing memikirkan ‘kuliah’ dan segala tetek bengeknya. Itulah yang saya rasakan di bulan kedua merangkai sejarah di Asrama ini. Perbedaan yang kentara antara bulan Agustus dan September, karna pada bulan ini proses kuliah efektif sudah berlangsung dan menuntut untuk turt diperjuangkan dengan maksimal. Meskipun Agustus lebih padat jadwal dan agenda, namun saya rasa September lebih berhasil membuat saya dan Tiara lainnya banyak belajar akan management waktu dan tanggung jawab.

            Saya teringat, minggu-minggu dimana hampir seluruh Tiara terjaga dimalam hari, berkutat dengan layar dan wajah teramat mengantuk yang tidak bisa berbohong. Minggu-minggu yang sama, adalah minggu-minggu sulit bangun QL, tertidur saat WBS dan acara tidur pagi yang pastinya tidak sesuai sunnah. Minggu-minggu yang sama, ketika piket kamar dan piket publik menjadi tabu untuk dibahas. Hingga hari-hari tomcat, hari-hari energen berjatuhan dilantai, piring-piring berserakan di ruang-ruang publik, terpeleset di kamar mandi yang licin, ya karena semuanya sibuk, hingga yang awalnya peduli memilih untuk diam saja, sederhana “Semuanya  sibuk” yaa semuanya. 

Saya yakin tidak ada orang di dunia ini yang menyukai sikap apatis, dan sikap terlalu toleran dari orang yang berbuat salah terhadap dirinya sendiri. Saya awalnya sangat geram, saat kamar mandi menjadi begitu tak terurus, sajadah bergelimpangan sehabis WBS, bahkan baju yang memenuhi kursi ruang tengah, piket kamar tidak dijalankan, piket publik dikerjakan asal-asalan, dan semua penghuni tempat ini mulai mengeluh tanpa sadar mereka adalah bagian dari itu semua, termasuk yang membuat tulisan ini. Saya berfikir, mengapa ada yang tahan membiarkan keadaan diam ini berlanjut, diam dan tak melakukan usaha agar ini lebih baik. 

Namun, akhirnya saya pun menyadari, bahwa saya lagi-lagi adalah bagian dari kesalahan dan keadaan diam tersebut. Meskipun saya berusaha mengerjakan tanggung jawab saya sebisa mungkin, namun saya menyadari terkadang saya melakukan itu semua hanya dalam konteks seadanaya, sekedar pelepas hutang, dan hanya sampai dititik ketika ditanya saya sudah bisa menjawab “saya sudah mengerjakannya”. Saya adalah bagian dari sistem yang salah, ketika kamar mandi begitu licin dan saya tidak menjadi yang pertama-tama mulai membersihkannya, dan dalam banyak hal membiarkan berbagai ketidakteraturan tetap dalam keadaan yang sama serta berharap ada orang lain yang akan sadar akan mengerjakannya. 

Dalam psikologi sikap membiarkan tersebut disebut “Efek Bystander” (efek pengamat) yakni sikap menonton tanpa membantu dalam situasi darurat yang disadari. Walaupun hal-hal diatas tidak sepenuhnya dapat dikategorikan darurat namun gejala “efek pengamat” sudah cukup terpenuhi, khususnya dalam karakteristik Diffusion of Responsibility. Diffusion of Responsibility yang merupaan ciri-ciri dari gejala Bystander Effect ini diartikan sebagai keadaan diman semakin banyak jumlah pengamat maka semakin sedikit rasa tanggungjawab seseorang pada keadaan darurat tersebut. Hal yang sama barangkali terjadi pada saya, harapan bahwa ada orang lain yang akan membereskan semua hal itu menjadikan saya hanya menjadi penonton aktif, bukan penggerak aktif.

 “Seorang mukmin merupakan cerminan saudaranya yang mukmin” (HR Bukhari). Saya akhirnya sadar bahwa saya pun sama seperti penghuni lainnya, saya adalah cermin bagi mereka dan mereka adalah cermin bagi diri saya. Jadi semuanya akan tetap belangsung seperti itu, hingga mungkin ada yang begitu kuat dan tangguh untuk meningkatkan kualitas para cermin. Semoga.

Hingga tulisan ini dibuat , hal diatas masih menjadi eval yang belum rampung, dan semoga di Oktober lebih baik.

Tuan tolong belikan aku cermin” dan tuan menjawab “Tak usah dibeli, ia ada disekitarmu”.


Kamar Moderat
1 Oktober 2016

Komentar