Ketika Keadilan "Terluka"

Karena luka yang tidak terlihat boleh jadi berakibat lebih fatal, karena kita tidak tau dimana lokasi persis dimana ia berada, sehingga tidak dapat segera mengobatinya


Suatu masa di pemerintahan khalifah Umar Bin Khattab, tersebutlah seorang gubernur nan mashur kerajaannya di negeri Mesir bernama Amr Bin Ash. Kala itu Amr Bin Ash ingin mendirikan mesjid didekat istananya nun megah, namun sebuah gubuk tua milik seorang kakek Yahudi yang berdiri tepat dilokasi pembangunan mesjid yang membuat pembangunan mesjid tidak bisa dilanjutkan. Berbagai upaya telah dilakukan agar kakek Yahudi tersebut bersedia menjual gubuk miliknya, tetapi tetap saja gagal.

Geram karena usahanya tidak membuahkan hasil, Amr Bin Ash memutuskan untuk merubuhkan gubuk tersebut secara paksa. Melihat kesewenangan yang dilakukan gubernurnya, sang kakek berpikir “Amr Bin Ash hanya seorang gubernur, pasti masih ada orang yang memimpin diatasnya”, setelah bertanya-tanya pada penduduk Mesir, ia akhirnya mengetahui bahwa gubenurnya tersebut dipimpin oleh seorang khalifah yang terkenal sangat adil dan bijaksana dalam memutuskan perkara, orang tersebut bernama Umar Bin Khattab dan pusat pemerintahannya berada di Madinah. Tanpa pikir panjang, jarak jauhpun ia tempuh demi mendapatkan kembali hak atas gubuk miliknya,

Sesampainya di Kota Madinah, sang kakek bertemu dengan  seorang pria yang duduk di bawah pohon kurma. Setelah berbincang cukup lama, terkejutlah kakek tersebut karena orang yang sejak tadi berbicara dengannya adalah seorang Khalifah. Ia ceritakan segala apa yang dilakukan oleh Gubernur Mesir padanya. Seketik itu pula Khalifah Umar langsung memerintahkan kakek tersebut untuk mengambil sebilah tulang unta yang ada di tumpukan sampah didekatnya. Kakek tersebut bingung, namun tetap dilakukannya titah sang khalifah. Diserahkannya tulang tersebut, Umar dengan sigap langsung mengeluarkan pedangnya dan menggoreskan garis lurus pada tulang tersebut. Lalu ia berkata “bawalah tulang ini ke mesir, berikan pada Amr Bin Ash”. Kakek Yahudi tersebut bertambah bingung, jauh-jauh ia berjalan dari mesir ke madinah hanya untuk mendapatkan tulang? Namun, meskipun dengan wajah kecewa ia tetap kembali ke mesir dan berharap keajaiban bahwa tulang tersebut dapat mengembalikan gubuknya yang telah hancur dapat terjadi.

Sesampainya di Mesir, kakek Yahudi tersebut langsung menemui Amr Bin Ash dan menyerahkan tulang tersebut padanya. Seketika itu, gemetarlah sang gubernur dan berkatalah ia pada pekerjanya “Bongkar mesjid itu, segera dirikan lagi gubuk milik kakek ini!” serunya. Semakin bingunglah kakek tersebut, bagaimana mungkin seorang gubernur menjadi sebegitu takutnya hanya karena sebuah tulang? Sang kakek berteriak “Tunggu gubernur! Sebelum itu, jelaskan lah dulu padaku hal apa gerangan semua ini, mengapa sebilah tulang bisa langsung mengubah keputusanmu tuan? Apa yang menarik dari tulang tersebut?”.

Lalu berkatalah sang gubernur, “wahai kakek, sungguh, bukanlah tulang ini yang membuatku gemetar. Apalah arti dari tulang ini, baunya pun busuk, arti dari tulang inilah yang membuatku gemetar kek” jawabnya sambil tertunduk.
“Kalau begitu apa artinya?”

Gubernur itu pun menjawab “Seolah Umar berkata kepadaku, berlaku adil dan luruslah kamu seperti lurusnya garis di tulang ini, jika kau tak mampu, biar aku yang meluruskannya dengan pedangku!”

Sang kakek Yahudi itu pun terdiam, “Tapi aku seorang Yahudi”
“Ya, meski pada seorang Yahudi sekalipun” sahut gubernur.
“Jika begitu, berarti islam itu adil wahai Gubernur?”
“Ya, islam itu adil” jawabnya pelan.
“Baiklah jika begitu, jangan kau bongkar mesjid itu wahai gubernur, sudah kurelakan gubukku untuk mesjid yang dibangun diatasnya. Tidak hanya itu, mulai hari ini kau saksikanlah ikrarku ‘Ashadu ala ilahailallah, wa ashadu anna Muhammadarasulallah’ “

MasyaAllah, betapa indahnya hidup dalam keadilan. Berdasarkan cerita tersebut, dapat kita bayangkan, apa jadinya jika sang kakek tidak mendapatkan keadilannya setelah menemui khalifah Umar, reaksi apa yang akan ia munculkan?

Keadilan yang hakiki, adalah konsep keadilan yang ditawarkan islam bagi seluruh alam. Ialah keadilan yang tidak membatasi

pelaksanaannya pada siapa pun, kapan pun dan di mana pun. Seperti dalam cerita di atas, bahkan Amr Bin Ash yang muslim kalah dalam pengadilan yang diputuskan Umar  saudaranya  sesama muslim, dalam melawan seorang Yahudi.

Lebih menarik lagi, konsep adil yang ditawarkan pada islam tidak terbatas pada hal-hal terkait hukum penyelesaian konflik dua pihak berselisih semata, lebih jauh lagi, islam menuntut umat muslim agar adil dalam segala hal, ya segala hal.

“Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan). Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.” (Ar-Rahman 7-9)

Lalu, bagaimana jika keadilan terluka?

Selayaknya tubuh yang luka, begitupula keadilan yang terluka. Luka pada tubuh boleh jadi disebabkan oleh banyak sebab, respon yang dimunculkan pun beragam sejalan dengan sebab dari luka itu sendiri. Luka akibat goresan barangkali akan memunculkan respon berupa kulit yang robek dan darah yang mengucur. Berbeda dengan luka akibat tindihan benda tumpul yang akan menimbulkan memar, dimana tubuh akan mengalami pendarahan didalam dengan indikasi kulit yang kebiruan dari luar. Namun, respon apa pun tetap memunculkan rasa yang sama, yaitu sakit.

Setiap saat keadilan dapat terluka, baik sengaja maupun tidak sengaja, oleh siapa saja dan dimana saja. Keadilan yang terluka memunculkan respon yang berbeda, dan akibatnya ada yang dapat dilihat secara kasat mata, adapula yang tidak. Luka yang tidak terlihat sesungguhnya lebih berbahaya, karena kita tidak tau lokasi persis dimana ia berada, sehingga tidak bisa segera mengobatinya.

Keadilan bisa terluka diakibatkan seorang individu yang lalai dari memberi hak istirahat bagi tubuhnya, bisa terluka akibat anak yang alfa dari berbuat baik kepada kedua orang tuanya, bisa terluka akibat ayah yang lupa menyisihkan waktu bercengkrama dengan anaknya, bisa terluka akibat mahasiswa yang tidak mampu mengatur waktu nongkrong dan belajar, bisa terluka karena rakyat terlalu sibuk menuntut hak sehingga lupa akan kewajibannya, dan sangat mungkin terluka akibat pemimpin yang dzalim yang hanya memikirkan bagaimana kekayaannya bertambah dan kepentingannya dipermudah.

Boleh jadi nilai buruk yang kita dapatkan dikelas, tidak patuhnya anak kedua orangtua, kesulitan mahasiswa dalam mengerjakan skripsi, bahkan kemiskinan, permusuhan serta perpecahan yang banyak terjadi saat ini, barangkali ialah buah dari ketidakadilan yang dilakukan oleh setiap orang dalam tiap peran yang ia miliki.

Keadilan yang terluka ialah keadilan yang tidak diletakkan pada tempatnya. Berlaku adil dalam aplikasinya memang tidak mudah, manusia sebagai subjek yang menjalankannya pun juga tidak mungkin dapat melakukannya secara sempurna. Namun, bersikap adil dan berusaha keras dalam menegakkan keadilan sejatinya merupakan kewajiban dari setiap insan yang menginginkan kehidupan damai dimuka bumi. Keadilan merupakan jawaban mutlak dari setiap permasalan umat yang ada saat ini, serta menjadi pilar dari terciptanya kehidupan yang harmonis antar umat berbeda agama sekalipun.

Perpecahan yang kerap terjadi dewasa ini dapat dijadikan  refleksi dari keadilan yang telah terluka itu, dan kini tugas kitalah untuk berusaha menyembuhkannya bersama-sama. 

"Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran." (Qs. an-Nahl: 90)

(Repost Tulisan untuk Mading FUSI (Forum Ukhwah dan Studi Islam) Fakultas Psikologi 19 bulan April dan di post di OA Line Rumah Kepemimpinan Regional 1 Jakarta, 14 Mei 2017)

Komentar