Pemaknaan Asrama Juli 2017 : "Juli bulan me-nyepi"

Belitong, 27 Juli 2017 (di Replika sekolah film Laskar Pelangi)



Juli : Bulan Me-Nyepi

            Setelah kurang lebih 1 bulan berada di rumah, asrama agaknya menjadi tempat yang di tidak begitu di idam-idamkan untuk sementara waktu, oleh setidaknya yang membuat tulisan ini. Kembali ke asrama saat orang-orang masih memiliki tidak kurang 2 bulan lagi waktu bersantai di rumah memang menjadi suatu tantangan tersendiri bagi saya, tapi hal ini tidak menjadi begitu buruk, mengingat ada setidaknya 59 orang lagi yang bernasib sama.

            Namun, ada yang berbeda di asrama di bulan Juli, asrama yang biasanya dipenuhi hiruk pikuk perempuan-perempuan sibuk, kini lengang dan semakin lengang. Alasannya sederhana, syarat ‘harus sudah ke luar negeri’ yang menjadi pembuktian kepada sang manager bahwa kita pantas lulus evaluasi , telah menjadikan orang-orang di tempat ini pergi, menunaikan agenda pembuktiannya, silih berganti. Hari ini 3 orang pergi ke Singapura, tiga hari berikutnya Malaysia, tak lama setelah itu taiwan, lalu hongkong, sementara yang di Korea tak kunjung pulang hingga kini, dan  sebagainya, saat itulah orang-orang di tempat ini benar mendunia adanya.

            Selain ke-lengang-an asrama yang sulit di tampik, ada hal mengejutkan mengisi warna-warni bulan Juli ini. Kepergian seorang kakak angkatan 7 yang tidak dapat dikatakan asing, telah memberikan sebuah pemaknaan baru tentang asrama, terutama bagi saya pribadi. Almarhum Mbak Sophi masih berumur 22 tahun, pulang dengan membawa banyak mimpi besar yang tentu selalu ia upayakan. Ya, asrama ini memang tak akan berhenti meminta kita bermimpi, lebih tinggi dan jauh lebih tinggi lagi. Mimpi yang kadang membuat sangat sibuk bahkan untuk menoleh pada mereka yang duduk bersebelahan dengan kita. Mimpi yang selalu ampuh jadi alibi dari banyaknya kelalaian dan kealfaan kita akan kewajiban serta aturan. Mimpi, sesuatu di masa depan yang tidak berhenti kita bayangkan. Kepulangan mbak Sophi mengingatkan saya pada suatu hal yang saya mungkin sering lupa akibat terlalu larut dengan angan-angan di masa mendatang, hal itu adalah ‘hari ini’.  

            Kepulangan mbak Sophi membuat saya merefleksikan apa saja yang sudah saya lakukan 19 tahun ini dan sudah seberapa siap saya dengan catatan amal yang kelak akan memandu  menemui pengadilan Allah di hari kepulangan nanti. Sudah sejauh mana? Itu pertanyaan besarnya. Saat saya bermimpi, tentang segala hal baik yang saya ingin itu dapat terjadi di masa mendatang, yang lebih sering, saya malah lupa dengan apa yang harusnya saya usahakan sebagai bentuk perhargaan dan syukur karena dapat tetap hidup, hari ini. Lupa, bahwa ajal bisa datang kapan saja, saat mimpi yang bertahun-tahun kita hayalkan belum terwujud sekalipun. Lupa bahwa ada hari ini yang tetap perlu di perjuangkan, menanam sedikit kebaikan, agar jika datang masa itu hari ini, setidaknya masih ada sedikit pembelaan di mata Tuhan, tentang seberapa mampu kita memanfaatkan pemberiannya tak hanya di masa mendatang, tapi juga hari ini.

            Kita mungkin sering sekali menghayalkan, akan seperti apa jadinya menjadi seorang wisudawan, memakai gaun terbaik saaat menikah, berbulan madu di raja ampat, atau setidaknya memikirkan bagaimana nikmatnya memiliki uang dari keringat sendiri, membeli barang tanpa perlu memusingkan kode pembayaran atau sesekali merenung  bagaimana jadinya diri ini nanti di hari tua, menjadi wali di pernikahan anak-anak yang telah beranjak dewasa, dan menghabiskan waktu dengan mereka yang pernah sangat berjasa mengisi kekosongan hidup, tapi lucunya, kita atau siapapun itu tidak pernah bisa memastikan, “akan kah semua hal itu benar-benar terjadi?”. Apa jadinya jika ajal lebih dulu memberi kejutan, saat semua itu baru sekedar angan-angan yang belum kesampaian. Sementara kita menghabiskan banyak sekali waktu, sekedar untuk menghayalkannya. Meskipun bermimpi itu tidak salah, malah jadi salah jika tidak punya mimpi, dan memperjuangkan masa depan itu benar harus dilakukan, tapi ada hal yang kita tidak boleh lupa, yap, berjuang untuk hari ini. Menyisakan waktu-waktu yang baik untuk orang sekitar pun juga buat diri sendiri, berhenti dari rutinitas eksistensial yang menyita banyak rasa sesal yang katanya penting untuk kebaikan masa depan, dan mulai hidup dan menghidupkan hari ini.

            Terimakasih mbak Sophi, untuk membuat Dian mengerti, biarpun mimpi dan masa depan kita sangat syarat akan tuntutan dan pembuktian,  namun hidup untuk hari ini tetaplah penting, agar tidak ada penyesalan, di hari kemudian.

Maka, mari hidupkan hari ini, (Meskipun asrama sepi dan banyak hal pergi silih berganti).

Kamar 5,
1 Agustus 2017

Komentar