Social Phobia

Apa yang tersisa dari keinginan menjauhi kehidupan?
Apa yang tersisa dari keinginan menjauhi kehidupan?
Tidak ada,
Kita hanya menanggapi "tidak ada" yang berjalan tanpa suara.
---------
Mengapa kita semua bermain kata-kata
Lalu abai terhadap makna
Sibuk dengan dunia yang sosoknya pun enggan muncul di pelupuk mata
Ribut dengan mereka yang keberadaaannya saja tidak jelas ada dimana

Kita ingin menjadi singa dibalik kaca
Kita ingin mengubah teko ajaib menjadi jin pengabul segala
Kita ingin mengisi dunia dengan sandiwara yang paling nyata
Kita lalu lupa
Kapan kita akan menjadi "kita"?

Ada jenis luka baru yang kita cetuskan
Goresan-goresan dalam kebingunang yang membutakan
Lebam-lebam dalam hati yang penuh kekosongan
Juga tetes-tetes darah di sepi nya hati yang tak seorangpun diizinkan memahami
Sepi yang membisikkan papan dan tali perpisahan

Jika kita beranjak menua,
bagaimana bisa sejarah mengukir jejak-jejak kehidupan kita?
Bila kita terlalu sempat berkesimpulan  " ini adalah saatnya",
akankah mereka melepas kita dengan tawa dan rasa lapang dada?

Mungkin,
Mungkin tidak.

(Suatu siang yang terik, September 2017-Terinspirasi dari film Socialphobia )
----

Socialphobia, sebuah film asal Korea yang rilis tahun 2015 ini sukses jadi pilihan film seorang remaja nanggung yang ingin  menghibur diri di malam minggu yang sesungguhnya gak sepi-sepi amat. Dan boilaa, meskipun ngantuk-ngantuk lantaran gerak filmnya lambat tudemax, film ini akhirnya bisa diselesaikan, dan secara kebetulan jadi salah satu bahasan di kelas Psikopatologi Dewasa sang remaja beberapa hari setelahnya.

Film bergendre setengah drama setengah thriller ini mencoba
mengeksplorasi isu-isu sosial dalam budaya internet di kalangan kaum muda di Korea di abad ke-21. Film itu bercerita tentang perang komentar di sosial media yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa. Pihak yang menyulut perang komentar itu dikisahkan menjadi amat takut  akibat isu penyerbuan yang akan dilakukan terhadap dirinya, sehingga ia memilih bunuh diri sebelum penyerbuan itu terjadi.

Dalam sebuah review yang ditulis di laman kakaeynotes.com, hal ini dapat dikaitkan dengan sebuh pepatah "mulutmu harimaumu" yang saat ini mungkin kita sepakati berganti sebagai "gadgetmu harimaumu". Yap, di era sosmed saat ini
hanya dengan menggerakkan jari kita bisa bebas memposting apapun pendapat kita di internet, bahkan makian dan kata-kata kasar. Gak sedikit orang yang lupa kalau apapun tulisan mereka bisa dengan bebas juga dilihat oleh orang lain, lalu jadi boomerang buat sang penulis status. Salah satu fenomena yang terjadi di Indonesia adalah tentang seorang netizen yang melalui akun path nya mengomentari ibu-ibu hamil di dalam kereta yang sering membuat penumpang lain harus berbagi tempat duduk. Beragam hujatan dan makian akhirnya membuat status tersebut viral dan dibincangkan seantero negeri. Yes, again, dengan kurang cerdasnya pemakaian sosial media (baik dari segi mbak yang bikin status ataupun yang balas status tersebut dengan komen gak membangun yang teramat kasar), kita doakan semoga mbak yang nulis itu baik-baik aja, amin.

Di sebuah mading di salah satu gedung di Fakultas Psikologi UI, sebuah artikel seorang dosen yang jadi headline sebuh koran Nasional mengatakan, tanpa sadar kita justru mendukung aksi perundunganan lewat komen dan share sebuah berita yang berisikan informasi perundungan. Sederhananya, dengan ikut memberikan komen dan melakukan share terhadap berita tersebut, kita telah ikut memberikan dukungan pada perilaku membully tersebut, karena memang itulah yang sejatinya diinginkan oleh pelaku. Semakin viral berita tesebut, semakin pelaku memiliki eksistensi dan pengakuan atas perilaku yang ia lakukan. Well, intinya meskipun tujuan kita baik ingin menunjukkan rasa simpati terhadap korban, atau ingin agar orang-orang lebih waspada, tapi kita tetap harus memastikan apakah dengan ikut nge-komen dan share itu dampaknya benar-benar baik, atau justru akan berbalik jadi sebundelan dukungan bagi sang pelaku.

Meskipun 2 fenomena itu berbeda, namun kita bisa melihat sebuah persamaan bahwa kebiasaan untuk buru-buru memberikan respon terhadap banyak hal yang berseliweran di media sosial, bisa jadi bencana masa depan yang tak terhindarkan, kalau kita tidak mulai mengantisipasinya sejak saat ini.

Bayangkan, dimasa depan anak cucu kita akan mengadapi beragam berita kematian di TV akibat sosial media yang sungguh menjadi momok yang tak akan mungkin dapat dilepaskan kehidupan mereka, yang pastinya jauh lebih canggih dari saat ini. Bayangkan jika dimasa depan, mereka mengetahui timeline nenek-nenek mereka berisi ujaran kebencian serta share-share tidak berfaedah. Mungkin, saat itulah usia dewasa akhir tak akan lagi dihiasi dengan tercapainya wisdom dan kemampuan generativity yang baik, karena kita pernah menodai sosmed sebagai salah satu rekam jejak sejarah hidup dengan hal-hal tidak bermanfaat. Dan disaat yang sama kita menyesal, karena gagal menjadi nenek yang baik (wkwk *pemaknaan yang sangat tidak mainstream wkwk).

So, think again before typing and share :D
---

Tambahan :
Kalau di psikopatologi dewasa, social phobia dijelaskan sebagai salah satu bagian dari anxiety disorder (gangguan kecemasan), yang diartikan sebagai
kondisi kesehatan mental kronis yang menyebabkan kecemasan irasional atau takut berada di tempat umum yang ramai. Biasanya juga memiliki ketakutan bahwa akan mempermalukan atau menghina diri sendiri jika berada di tempat umum.

Komentar