Kata-kata kita

Entah bagaimana awal mulanya dan apa motivasi dasarnya,  entahlah,  entah mengapa kita senang sekali menambahkan kata-kata yang tidak perlu dalam ungkapan sehari hari.

Lucunya,  yang berartian kasar bin nyelekit lebih digemari.

Waktu pertama kali masuk kampus, melakukan rangkaian daftar ulang,  seorang gadis sotoyolo yang berasal dari pedalaman gua hira (huahua) sempat bertanya-tanya, 

"kenapa sih nih orang-orang,  apa-apa 'njir',  apa-apa 'njir' " ia bingung kenapa sih orang-orang senang sekali menyematkan kata itu dalam setiap perbincangan,  apapun jenis pembicaraannya. 

Bukannya gak tau maksud dari kata tersebut,  malah karena tau artinyalah gadis ini makin ribet bertanya-tanya. " Padahal itu kan plesetan kata "anjing".

Tapi sebenarnya,  gak ada yang salah dengan kata itu,  karena itu hanya nama binatang. Sama aja kayak orang latah yang nyebut "Eh ayam,  ayam" (eh beda lah,  kan ini latah ga sengaja). Tapi,  mau semenolak apapun,  nilai sosial telah meletakkan anjing pada strata yang jika diibaratkan kepada manusia, jika dipandang dengan penilaian sehari-hari,  akan dianggap sebagai sesuatu yang negatif (seperti berniat mencela dan kasar).

(Gak tau deh gimana jadinya pandangan itu bisa kian masyurnya)

Kembali ke soal kata tambahan tadi,
"njir suka banget gue sama style lo",
"Ya Allah njir,  gue becanda doang", "Kaget gua,  anjir"...  dan seterus seterusnya.  Kata satu ini seperti seolah bisa mewakili semua perasaan kita. Ya,  semuanya!

(Padahal kalau dibaca dengan mengubah kata itu ke dalam artian yang sebenarnya,  harusnya orang-orang jadi sedih karena tiba-tiba mereka harus menjelma jadi binatang wk)

Mau kaget,  marah,  benci,  sedih,  capek,
lemah,  lesu,  lunglai (kayak iklan suplemen kurang darah), dan sederetan emosi beserta respon-responnya,  menariknya, bisa diekspresikan dengan kata ini. Semua kata sapa pun juga,  bisa,  semua bisa!
"Njayy".

Kenapa ya kata ini ajaib banget?

(Padahal di psikologi dan ilmu sastra orang-orang berusaha keras menemukan kata  dan cara mengungkapkan yang tepat untuk mewakilkan isi hati dan kepala,  tapi satu kata ini.. ajaib).

Setiap orang tentu punya jawaban masing-masing untuk pertanyaan ini,  "Tambahan kata 'njir' tu buat apa sih?"
dan percayalah jawabannya gak sesederhana "pengen aja", karena kalau kata bu Maryati ada serangkaian proses kognitif yang akhirnya membuat kita memutuskan mengeluarkan satu bentukan perilaku. Jadi sesuatu itu tidak pernah benar-benar bisa dijelaskan dengan "ya gitu deh.."  "takdir mungkin" dan yang sejenisnya. Kalau kata bu Maryati, kalau kayak gitu manusianya sebenarnya lagi males mikir aja sih. (Haha, ngena banget sih buk :'))

Jadi,  kenapa ya? (nanya lagi, rempong bener).

Entahlah selain secara keyakinan, segala sesuatu yang bermuatan negatif (seperti dosa) itu menyenangkan untuk dilakukan,  alasan konformitas sosial (melakukan sesuatu agar diterima dan seragam dengan perilaku kebanyakan) mungkin bisa juga memberi sumbangsih untuk menjelaskan fenomena satu ini. Setelah konfirmitas terjadi,  hal tersebut makin berkembang dan dianggap sebagai sesuatu yang wajar atau bahkam bisa ke tahap jadi nilai yang diyakini dan jadi standar bersama. Yay,  lingkungan sosial memang warbiasah dalam mengubah sesuatu!

Sebenarnya,  lagi-lagi setiap orang bebas sih mau menganggap hal ini penting dibahas atau bahkan penting untuk diubah atau enggak. Biasalah,  semua selalu aja tentang persepsi dan konteksnya.

Tapi,  kocak aja sih,  besok pas udah jadi emak-emak atau bapak-bapak,  sakin kebiasaannya, kita dengan mudah mengeluarkan kata-kata ini di depan anak-anak (entah anak orang atau anak sendiri),
"Bapak kaget, njir", "Anjir,  ibuk kan udah bilang, jangan lari-larian di jalan", "Njir,  bangga ibu sama kamu".

(wkkw,  itu terdengar agak..,  wkkw mengerikan *buat yang nulis*.  Tapi percayalah ini gak mustahil dan ngubah kebiasaan itu adalah sebuah kezuzahan duniyaa huahua) 

Entahlah pada saat itu apa anak kita akan baper terus lari-larian ke kamar karena merasa di kata-katain sama ibu bapaknya. Atau, itu malah jadi suatu kebiasaan umum yang kelak menjadi bahan imitasi buat sang anak yang baru mengenal dunia.

Gak tau sih,  di masa depan,  apakah kebijaksanaan orang tua gak lagi diukur lewat apa yang ia katakan atau lakukan,  semuanya masih misterius.

Atau disetting kantor dan di tempat kerja,  apa di masa depan kita akan menyapa bos dan klien kita dengan cara seperti ini, "Njir,  bos gue memang anjir banget dah", atau seorang psikolog dengan kliennya "Anjir,  bisa kamu ceritakan bagaimana kamu kepentok waktu itu"

Tapi,  coba bayangin,  kalau semua imbuhan 'njir' kita diganti pakai kata-kata yang bikin berpahala, kayak kalau di islam tu "Alhamdulillah" (yang katanya malaikat aja gak mampu nulisin besarnya pahala dari kata satu ini), mungkin kedengarannya akan seperti ini
"Alhamdulillah,  ibu kaget", "Alhamdulillah,   kan ibu udah bilang jangan lari-larian ke jalan", "Alhamdulillah,  bapak bangga sama kamu".  Agak aneh juga sih,  kalau semua diungkapin pakai satu kata itu,  dan emang kedengarannya jadi kurang asyik gitu kan ya karena gak nyelekit,  jadinya terkesan kaku bin ngebosenin gitu.

Tapi apa iya,  cuma kata 'njir',  'nying' dan teman-temannya ini aja yang bisa bikin pembicaraan kita asik,  seru, dan gak ngebosenin?  (Kasihan nasib kata-kata yang lain,  wkkw lama lama tergerus ilang dari KBBI)

Kalau kata Raisa sama Isyana mah "Setiap katamu cerminan hatimu,  jadikan berarti yeah.." Soal kita mau dicerminkan dengan cara yang bagaimana ,  dan membuatnya berarti dengan artian yang seperti apa,  kan terserah~

(Astagfirullah,  setelah membuat dan membaca tulisan ini alangkah baiknya kita istigfar 1juta kali,  istigfar,  dimulai)

Setelah gak jadi apel,  dan hasil kontemplasi semalam *yang harusnya digunakan untuk memikirkan makalah kesmenkom.

Dari hati yang terdalam,  tulisan ini sama sekali tidam berniat sarkas apalagi mendeklarasikan siapapun yang memiliki kebiasaan ini tu buruk,  kasar dll. Semata-mata,  hanya karena penulisnya amaze kenapa kata ini bisa sebegitu berkembangnya dalam kehidupan sosial sehari hari kita ;)  (no hard feelings yaw) 

Mushola Asrama,  Senin,  26 Jumadil Awal 1439 Hijriah (12 Februari 2018)

Komentar

  1. Halo, ini tulisan menarik. Apalagi soal pernyataan ' ada serangkaian proses kognitif yang akhirnya membuat kita memutuskan mengeluarkan satu bentukan perilaku'. Ini singkat tapi cukup menjelaskan secara sederhana alasan dari perilaku kita.

    Ngomong-ngomong, saya mau tanya soal pernyataan 'Padahal itu kan plesetan kata "anjing"' itu berdasar darimana ya? Karena, di lingkungan saya sendiri kata itu sudah sering disebutkan dari lebih sedekade yang lalu (meski tidak sepopuler sekarang), dan kata 'anjir' lebih terkonotasi dengan ungkapan kaget semacam 'wow' atau 'ya ampun', bukan semacam celaan seperti 'anjing'.

    Correct me if I'm wrong. Mungkin ada perbedaan makna budaya atau apa, dan saya senang kalau dapat penjelasannya. Terima kasih!

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehe terimakasih udah berkomentar :). Maaf balasnya lama. Sebenarnya itu juga yang saya maksud, kalau sekarang kata anjir dkk itu sangat familiar untuk menggantikan beragam wujud ekspresi, kayak terkejut, kagum dll. Sebenarnya, sayang aja dari segi bahasanya, karena sebenarnya kita punya banyak kata lain untuk mengungkapkan ekspresi ekspresi tersebut. hehe cmiiw too ;). Untuk kata anjir sendiri, setau saya, awalnya banget emang plesetan dari kata "anjing", yg lama kelamaan jadi semacam kata baru hehe,

      Hapus

Posting Komentar