Lukisan Lukisan

Kita,  dewasa dengan begitu cepatnya.
Melesat dari zigot yang tak karuan bentuknya, hingga menjadi sesuatu seperti hari ini.

Dalam umur yang makin hari makin matang,  kita mulai bertanya tentang lebih banyak hal. Tapi lucunya, kita lebih banyak menyimpan rapat-rapat pertanyaan itu untuk diri sendiri. Ya,  itu kita yang makin dewasa makin takut menyuarakan isi kepala. Pertanyaan-pertanyaan dan kategorisasi tentang konyol tidak konyol,  bodoh tidak bodoh dan memalukan tidak memalukan.

Hari-hari kian banyak terlewati,  memori-memori makin terisi. Beberapa ingatan tentu dieliminasi,  beberapa tidak sengaja,  namun yang lain,  adalah sebab dari diri yang tidak kuasa mengenangnya. Ingatan-ingatan manis,  yang tetap saja bikin pundung saat diingat.

Kemarin sore,  kita adalah anak baru gede yang kelewat senang dengan seragam putih dongker. Senang sekali rasanya melepas baju putih merah yang terlalu mainstream itu. Kita menjadi jawara-jawara dalam persepsi pribadi. Membicarakan keburukan-keburukan dari mereka yang entah mengapa terlalu banyak memberi aturan. Senang melakukan kenakalan,  hal hal yang sebelumnya jarang dikerjakan.

Paginya,  tau-tau sudah ganti pula seragam yang di kenakan. Putih abu-abu. Semacam cerita baru untuk hidup yang ternyata lebih luas dari selembar kertas peta dunia. Dibalik lipatan buku,  digulungan semangat memenangkan masa depan,  terselip cinta-cinta anak remaja. Cinta tidak dapat diremehkan begitu saja. Kawan-kawan karib yang suaranya mulai bulat,  dan makin menawan parasnya.

Tadi siang,  sepertinya kita baru saja menemukan kamar pertama,  yang mau tidak mau mesti diterima sebagai tempat pulang nantinya. Hari-hari tanpa seragam sudah tiba. Selembar kain tebal dan logo bermacam rupa di saku atas bagian kanannya. Sebuah almamater yang bikin bangga tiada tara.

Kamar-kamar itu kemudian berisikan banyak sekali hal luar biasa. Banyak sekali mimpi dan isak tangis. Kehidupan di kamar baru yang dulu dibela habis-habisan nyatanya tak semenyenangkan itu,  dan setelah dikenang-kenang lagi,  tidak juga semenyedihkan itu.

Cerita jendela yang urung dibuka lantaran pekerja lelaki yang mengurusi projek mushola kampung sebelah,  piring-piring yang enggan dicuci,  dan orang-orang yang ternyata lebih senang menyendiri.

Cerita lelaki yang bikin konsentrasi terhabisi. Penggalan kisahnya yang ia bilang hanya dibagi pada 3 orang terpilih saja di dunia. Gangguan mood dan semua perasaan berharga berkat diberi kepercayaan mendengar. Lucu ya,  manusia memang suka melakukan hal yang menyusahkan dirinya sendiri.
Semoga engkau selalu sehat, tuan.

Lalu kamar-kamar itu berpindah,  lokasi dan bentuknya. Kamar baru yang kabarnya dinantikan banyak pujangga,  di doakan banyak penjaga mushola. Kamar yang tidak terasa,  akan segera ditinggallan dengan segala kisah tragis di dalamnya. Tragis secara harfiah,  dan tragis secara konotasi. Kisah-kisah yang apa boleh buat telah membuat diri makin senang merenung dan apa boleh buat mesti banyak-banyak bersyukur karenanya.

Ufuk matahari sore kemarin,  dan fajar fajar menawan tadi pagi,  juga siang-siang kita yang makin sulit jika hanya di defenisikan dengan kata 'panas'. Kita melukiskan banyak sekali warna,  di kanvas milik kita,  tentunya juga di milik orang lain.

Kita memang pelukis yang handal,  mampu tetap bijaksana meski kadang goresannya melewati alur gambar yang ingin dilukis. Kita mafhum jika warna warna tak tercampur dengan rata,  karena kata pelukis ternama di jaman-jaman dahulu,  disitulah seninya. Ketidak sempurnaan yang membuat sebuah lukisan kian berharga.

Kita memang hebat,  suatu hari palet warna kita terjatuh,  meleburkan semua nya. Warna-warna yang tercampur,  dan keajaiban yang kita sadari setelah menghujat semua tumpahan yang menyusahkan. Penemuan warna baru!  Bukankah ini luar biasa?
Karena hanya dengan tumpahnya semua warna di palet, warna yang baru ini dapat ditemukan.

Warna-warna yang tak ayal membuat kita ingin tinggal,  lebih lama,  dan sedikit lebih lama lagi.

Asrama UI,  20 Februari 2018

Dalam rangka mengenang kisah-kisah di Gedung E2 yang paling jauh,  kamar pertama di lantai 4, dan kamar 236 yang kini ternyata diisi seorang mahasiswi kimia. Plus,  mesjid dikampung sebelah yang ternyata sudah rampung. Suaranya kian lantang,  berbahagialah seisi gedung E2. Sebab lantangnya suara dari mushola lebih ampuh dari alarm manapun di asrama ini.

langitnya makin indah,  dan siapapun yang tinggal disini mestilah banyak-banyak bahagia (dan menyapa kamar tetangga).

Ingat,  sapa tetangga!

Komentar