Negasi

Manusia itu sungguh lucu dan kompleks,  itulah mengapa mempelajarinya tidak akan ada habis-habisnya. Itulah mengapa mengenali diri sendiri itu tidak akan selesai dilakukan dalam dua jam kuliah 'kepribadian' (itupun belum dipotong hitungan tertidur di kelas).

Saat seorang individu mengatakan 'Oh iya', 'boleh',  'mau',  'Ayok', 'Terserah', 'Yaudah gapapa', 'aku sans kok',  dan kata-kata semacam itu (pernyataan sikap,  bukan pemaparan informasi), lagi-lagi kita tidak bisa benar-benar menebak, apakah benar itu sikap (pernyataan evaluatif terhadap suatu kejadian) yang mewakili hati dan pikiran mereka,  atau bukan.

Lucunya,  kita, si manusia manusia itu sangat sering memberikan pernyataan yang sudah sangat jelas tidak mewakili sikap asli kita. Banyak hal bisa kita tuduh sebagai faktor penyebabnya. Tapi,  untuk sebuah fakta menarik ini, kita tentu perlu bertepuk tangan pada diri kita sendiri. Pasalnya,  hal ini membuat banyak orang mengeluarkan tenaga dan uang demi mempelajari fenomena satu ini. Berusaha keras menemukan formula agar si pembelajar dapat membuat manusia terbuka akan sikap aslinya, dan agar si manusia tidak lagi membohongi dirinya dan menjadi lebih sehat untuk itu.

Contohnya saat seseorang membuat janji dengan kita, lalu saat sudah siap,  sudah rapi,  sudah tinggal selangkah lagi menuju pintu keluar,  ia tiba tiba chat dan bilang "Maaf aku jadinya gak bisa kesana,  mood aku lagi jelek banget". Lantas apa respon pertama kita?  Apakah marah? Sedih? Banting pintu?,  respon emosi apapun sah sah saja dalam situasi satu ini. Tapi tentang tindakan yang kita munculkan? Itulah yang akan membuat segalanya jadi berbeda.

Misalkan jika kita akhirnya memutuskan untuk membanting pintu,  tindakan kita ini tentu memiliki konsekuensi yang punya dua sisi.  Emosi kita bisa saja terluapkan dengan cara itu,  tapi disisi lain,  bisa saja hal itu malah mengganggu tetangga kita di kamar sebelah yang sedang sakit gigi. Atau kemungkinan terburuk,  pintunya jadi  copot bin gak bisa kebuka lagi (wah berabe sih). Tindakan kita dan segala konsekuensinya yang sangat mungkin beranak pinak (melahirkan konsekuensi yang baru).

Bagi sebagian orang mungkin akan memilih membalas chat tersebut dengan 'iya gapapa,  semangat yaa'. Yash, dengan begitu,  maka sebuah kalimat negasi telah dilontarkan dimuka bumi untuk sekianjutakalinya.

Lalu,  apakah salah saat kita mengatakan hal itu?  Sebenarnya tidak juga (menurut penulis yang sotoyolo) . Sebagai makhluk yang punya perasaan, kita tentu bisa menerka,  jika di saat yang sama kita langsung memarahi orang tersebut,  maka dapat diperkirakan apa yang terjadi.  Tentunya dengan sebuntelan konsekuensi yang menyertainya. Jadi kita memilih menahan diri,  dan melakukan hal lain (ex : makan es krim) agar dapat me-release peraasaan tersebut (juga dengan konsekuensinya sendiri).

Tapi intinya,  mengeluarkan sikap negasi ini adalah perkara yang wajar dilakukan sebagai bentuk pemahaman kita bahwa dalam berkehidupan sosial,  tidak semua hal akan sesuai dengan keinginan pribadi kita. Namun,  yang penting digarisbawahi adalah,  dalam saat saat yang tepat,  kita dapat mengutarakan hal yang kurang menyenangkan itu. Tujuannya sederhana,  agar kedua belah pihak sama-sama bisa merefleksikan plus mengintrospeksi agar terjadi perbaikan di masa mendatang (waduh udah kayak bahasa di buku LKS PKN). Hal itulah kemudian yang disebut 'Asertif'.

Asertif merupakan kemampuan untuk mengkomunikasikan pikiran,  perasaan dan keinginan secara jujur,  tanpa merugikan orang lain. Ia berteman dengan sikap 'agresif'  (sikap yang cenderung bersifat menyerang) dan 'submisif' (sikap cenderung menyerah terhadap segala hal yang terjadi).

Asertif jadi salah satu pilihan yang katanya amat moderat (alias paling tengah,  alias paling menghasilkan konsekuensi paling nyaman diterima). Memang,  menjadi seorang manusia yang bersikap asertif.. memang bukanlah perkara yang mudah bin enaq untuk dijalani. Tapi,  mengingat kebaikan yang mampu ia hasilkan,  sepertinya sah sah saja jika kita coba. Katanya juga (kata salah satu dosen kelas psikologi sosial *kalau gak bener), sikap asertif ini menyumbang bagi faktor faktor 'pelanggeng' hubungan *ea. Semacam cara yang 'low cost'  untuk membuat hubungan awet bin bahagia (ya gaa sihh wkwk).
-----

Setiap hari kita memilih,  mau marah  sedih,  sedikit sedih, banyak senang dan sebagai sebagainya. Membuat semua orang tau akan amukan marah yang kita punya, atau menangguhkannya dan meluapkannya di waktu dan dengan cara yang lain, karena tau bahwa tidak semua orang berkewajiban menerima amarah itu. Yang jelas,  setiap waktu,  setiap saatnya,  kita selalu punya kesempatan untuk membuat sesuatu jadi lebih baik,  dan lebih bermakna. Menunggu sebentar,  untuk sesuatu yang lebih bernilai di ujung hari.

Pagi sudah datang,  dan senyum kita akan terukir kembali.

Kamar 1 yang udah selesai di piketin, 17 Februari 2018.

Komentar