UNDERACHIEVEMENT

habis olahraga di taman surga UI (asiq)
"Siapa yang bisa menjelaskan, pada saat seperti apa seorang siswa disebut 'Underachievement'?" (tanya dosen di kelas psikologi sekolah). Seorang anak yang duduk di depan, demi mengusir kantuk untuk kesejuta kalinya mencoba memberi jawaban, sekenanya, "saat seorang siswa tidak mencapai prestasi/pencapaian rata-rata yang diperoleh teman-temannya". Dan jawaban itu ternyata, salah. Mutlak salah. "Underachievement itu terjadi saat ada kesenjangan antara prestasi dan potensi pada diri siswa, dimana pembandingnya adalah siswa itu sendiri, bukan teman-temannya". (Dan penjelasan itu bikin si anak yang tadi ngantuk-ngantuk mulai meraih kesadarannya).

Dalam hidup, kita terpapar banyak sekali informasi, menyerap banyak sekali nilai, dan tanpa sadar itu semua mempengaruhi bagaimana kita berperilaku (secara kognitif, afektif dan psikomotor). Apalagi sekarang, informasi mulai tak terbendung, membuat banyak hal mudah berganti, apa yang harusnya jadi penyemangat, apa yang tiba-tiba menjadi alasan tidak bersyukur. Pikiran kita seringkali terperdaya dengan apa-apa yang orang lain berhasil raih. Sejenak, kita mulai mematut-matut diri di depan cermin, "Bego banget sih, liat tu dia udah gini, gitu, lo ngapain?

Lucunya, banyak orang mungkin juga berfikir demikian. Termasuk ia yang kita cemburui karena prestasi-prestasinya yang memenuhi timeline. Lalu kita lihat orang-orang menjadi tidak tenang, tidak jelas lagi apa yang ingin di menangkan, dan untuk apa semua itu dilakukan. Hari-hari kita menjadi kelam, karena kita tidak lagi hidup untuk kebahagiaan, melainkan perasaan marah jika dikalahkan. Hati kita jadi keras, suka rusuh sendiri kala melihat orang lain lebih baik. Kita mulai berhenti belajar, membenci proses dan menolak kegagalan, seolah semua harus didapatkan secara instant. Kita tidak bisa menunggu, apapun alasannya.


Padahal, kita tau, tidaklah semua orang jadi jalan raya. Beberapa ditakdirkan jadi jalan setapak yang membawa orang menuju mata air. Dan kita tau, hal itu sama sekali tidak buruk, malah dibutuhkan.


Akhirnya kita tersadar, atau mungkin mulai merenungi, untuk apa semua ini? Kemana muaranya? Kita paham bahwa sebenarnya kita tidak perlu hebat untuk siapa-siapa, bahkan orang tua kita sekalipun. Yang kita butuhkan adalah hati yang lebih lapang, pikiran yang lebih tenang, sehingga setiap melihat siapa-siapa yang berbahagia, kita pun bisa ikut bahagia. Kita cukup jadi hebat untuk diri kita sendiri, membuat hari ini lebih baik dari hari kemarin, belajar dari kejatuhan dan mulai menghargai proses demi proses yang mau tidak mau pasti ada dalam cerita keberhasilan. Menjaga diri dari ruginya menjadi pribadi yang enggan bersyukur, dan senantiasa ingin memenangkan penilaian manusia, yang apa boleh dikata, tidak akan ada habis habisnya.


Dengan begitu, mudah-mudahan kita hidup lebih bahagia, dan dengan kebahagiaan itu kita bisa menyemai cinta yang lebih tulus, buat sesama.

Komentar