Buat Apa Allah Suruh Beribadah?

Dokumentasi Kajian Kontemporer Ksatria Tiara 8

Pernahkah kita bertanya, kita tu hidup ngapain sih? Buat apa sih?

Alkisah seorang anak manusia dipaksa ikut pesantren kilat Ramadhan di SMP negeri di pelosok Sumatera nun jauh disana. Di siang bolong, dengan perut yang keroncongan dan mata setengah watt, anak tadi harus menerima kenyataan bahwa agenda selanjutnya adalah tausiyah dari pak ustadz yang entah siapa namanya.

Dengan tergopoh-gopoh anak tadi izin ke kamar kecil untuk membasuh sisa sisa hawa nafsu di matanya, mata yang dipenuhi kantuk (karena katanya setan udah dibelenggu sejak awal puasa ). Tausiyah pun dimulai, pak ustadz pun sampai pada sebuah pertanyaan "ananda, ananda tau ndak hidup ini mencari apa?" (dalam hati, "hah, pasti mau nyampein itu lagi, kasi ayat itu lagi") *astagfirullah semoga pak ustadz sudah memaafkan celetukan hati si anak ingusan itu*. Tapi dugaan anak tadi meleset, pak ustadz memberikan jawaban yang jauh berbeda dari prasangkanya, sambil senyum ustadz berkata " Ananda kita itu hidup untuk bahagia".

Tanpa pikir panjang, sejak hari itu, sang anak percaya bahwa hidupnya adalah untuk mencari kebahagiaan.

Perjalanan anak tadi berlanjut, ia terhenti pada pertanyaan berikutnya "Gimana cara jadi bahagia?"

Dicekoki banyak teori, pemikiran ahli dan banyak retorika orang-orang yang (katanya) telah mengerti, ia sampai pada suatu kesimpulan, "Manusia hanya bisa bahagia saat kebutuhannya terpenuhi".

Lantas, mulai ia mencari, "Apa yang menjadi kebutuhan manusia?".

Sejak SD, atau bahkan saat masih di taman kanak-kanak, kita diberi tau, bahwa manusia tidak akan mampu bertahan hidup jika kebutuhan primer nya tidak terpenuhi. Dan kebutuhan primer itu adalah "sandang, pangan, papan".

Tapi,

Realita memang kadang tidak sesuai dengan teori, seperti halnya kasus ini. Saat ini, kita saksikan banyak sekali orang-orang yang hidup cukup, bahkan berlebih-lebih daya nya untuk memenuhi si kebutuhan primer. Lantas, apa mereka semerta-merta jadi bahagia? Begitupula orang-orang yang belum secara penuh mampu memenuhi 3 kebutuhan dasar itu, apa kita jadi bisa memastikan bahwa mereka hidup dengan tidak bahagia?

Tidak perlulah kita jauh-jauh bertanya pada orang lain. Sekarang, mari kita bercermin, menanyakan pada diri yang sudah lama tercukupi kebutuhan sekunder hingga tersiernya ini, "Diri, apakah kamu sudah bahagia?". Beberapa dari kita mungkin akan menangis melihat raut wajah yang sungguh enggan berdusta itu.

Lalu, apa yang salah? Mengapa saat semua terlihat sudah cukup, justru semakin terasa ada yang kurang?

Maka, bolehlah sekarang kita jujur-jujuran pada diri kita, bahwa apa yang sekarang-sekarang ini langka sebagai syarat menjadi insan yang bahagia adalah : Ketenangan.

Pikiran yang tenang, pikiran yang tetap dingin saat menghadapi banyak siatuasi tidak terduga, pikiran yang pantang krasak krusuk jika ada masalah melanda. Hati yang tenang, hati yang turut senang melihat orang lain senang, lebih baik nasibnya, hati yang enggan rusuh kala keingingan tidak sejalan dengan kenyataan. Jiwa yang tenang, jiwa yang tau kemana harus mengadu saat semua seolah terasa buntu.

Kita tau, bahwa ketenangan adalah hal yang tidak boleh tertinggal sebagai kebutuhan kita yang paling dasar, kebutuhan paling primer.

Dan terjawablah pertanyaan itu, pertanyaan tentang "Mengapa Tuhan menciptakan jin dan manusia untuk beribadah?". Jawabannya sederhana, agar kita tenang, agar genap diri kita sebagai insan yang merdeka, insan yang bahagia.

Sebab kita tau, kita sangat tau "Bahwa hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenang"~

Maka ini saatnya, di bulan yang baik ini, bulan yang menyediakan banyak sekali harta karun buat kita, manusia yang terus mencari kebahagiaan, terus mendambakan ketenangan

Jadi berhentilah berpura-pura, kita mengerti, merasa dan tau bahwa beribadah kepada-Nya, adalah kebutuhan kita yang utama (ibadah yang sejalan, kepada pencipta, juga pada ciptaanNya)

Dan Ramadhan ini benar telah mencuri hati kita untuk tidak membiarkanya, berlalu begitu saja.

Mari berlomba-lomba, memenangkan hati yang baru, hati yang tenang karena banyak mengingat-Nya.

"(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati-hati mereka menjadi tenteram dengan berdzikir (mengingat) kepada Allah. Ingatlah, hanya dengan berdzikir (mengingat) kepada Allah-lah, hati akan menjadi tenang”. [ar Ra’d / 13 : 28].

(Repost Line 16 Mei 2018)

Komentar