Bagaimana jika kita tidak pernah

Purnama sudah pergi, tinggal awan-awan menggantung
Rooftop, 6 Mei 2020

Sebagai salah satu profesor yang mendapatkan gelar keilmuannya tanpa jalur sekolah, namanya sering disebut. Disusul kebanggan orang-orang dari etnis yang sama tak kala bukunya diangkat ke layar kaca, lantas berlatarkan tempat-tempat yang tidak asing : Maninjau, Padang, Bukittinggi dan lain sebagainya. Rasanya tidak ada yang tidak mengenalnya, karya-karyanya.

Kecuali seorang gadis yang entah mengapa selalu tidak tertarik dengan pekerjaan orang-orang kebanyakan. Agaknya, ia terlalu krisis identitas hingga hanya dengan melakukan segala yang tidak banyak dilakukan orang ia bisa menemui dirinya. Membaca buku sang maestro menjadi hal yang tak pernah terlintas di otaknya. Tak peduli berapa sering nama itu hadir di obolan orang-orang tua, atau dalam ceramah seorang ustadz kala menanti adzan Isya. Ia hanya tertarik dengan keunikannya sendiri, yakni menjadi bodoh saat orang-orang membicarakan sesuatu yang universal. Lalu menjadi yang paling pintar saat menjelaskan sesuatu yang tidak penting seperti awal mula diciptakannya resleting atau mengapa toren air tidak dicat warna-warni.

Gadis itu terlalu menggandrungi kebetulan. Hingga ia tau bahwa terlalu banyak settingan yang ia ciptakan agar banyak rupa kebetulan menghampiri. Sungguh naif. Tapi ia masa bodoh.

Suatu hari, ia melengos ke arah rak buku sang kakak di sebuah kamar yang ia tumpangi. Ah, tentu membaca bukan keahliannya. Buku itu tidak pernah memanggilnya seperti yang ia selalu berkhayal itu terjadi. Tapi ia mendatangi buku itu. Buku yang tidak pernah ingin ia baca karena sudah terlalu ramai spoilernya berseliweran. Lagi pula apa yang diharapkan dari buku yang ditulis puluhan tahun yang lalu. Bahasa yang basi dan terlalu syarat perintah. Menggurui.

Ia lalu mengusap wajahnya. Baik, kali ini ia tidak bisa lebih naif lagi.

Tanpa ampun, buku itu dilahap dalam duduk-duduk yang sendiri. Dibawa kemana-mana hingga tamat.

Terhenti ia pada salah satu bahasan

Soal ikhlas.

Soal orang-orang yang tidak pernah percaya pada orang lain, sebab memandang hati semua orang sama busuknya dengan hatinya.

Itulah orang yang belum ikhlas, ujar buku itu.

Ia terdiam. Tertawa kecil. Kemudian tertawa dengan air mata, sambil masih memegang buku itu : Pribadi Hebat halaman 142 karya Buya Hamka.






Sambil terus bertanya
"bagaimana jika kita tidak pernah..ikhlas"

Komentar