Ramadhan, Bolehkah Jangan Pergi?

Foto di ambil di bandara Halim Perdanakusuma


[Bolehkah Jangan Pergi?]

Ia mondar-mandir, sebentar kekanan, sebentar kekiri, ia teramat gusar.
Beberapa orang bertanya "Apakah sudah saatnya?", ia mengangguk pelan, seolah menyiratkan bahwa hatinya pun belum rela.

"Tahun depan, mampir kesini lagi kan?" seorang gadis kecil mencoba bersuara diantara ramainya masa yang menyaksikan detik-detik keberangkatannya. "Belum tau, izinnya belum pasti, tapi berjanjilah untuk jadi gadis baik yang tak mudah dikalahkan, oke?" ia tersenyum lirih, tidak ingin menatap siapa-siapa.

"Kumohon, tinggalah lebih lama, keberadaanmu membuat kami berkumpul lengkap.." seorang ibu mencoba menahannya, hingga berair mata. "Bu, katakan pada anak-anak dan suamimu, betapa kau senang melihat mereka berkumpul dirumah dan menghabisi makananmu yang lezat-lezat itu, terimakasih bu, untuk telah mengistimewakanku dengan masakanmu", sang ibu tampaknya tidak berhasil meyakinkan ia untuk tetap tinggal.

"Jika kau pergi, aku khawatir tempat ini tak akan ramai lagi?!" kakek berjanggut putih itu tertatih-tatih keluar dari kerumunan, hendak menyampaikan kegelisahannya. Ia terhenti merapikan catatannya, wajahnya tertegun menatap sang kakek. "Kegelisahanmu adalah kegelisahanku juga, aku teramat cemas jikalau tempat ini kembali berdebu untuk waktu yang lama. Tapi, Kek, percayalah, yang sungguh-sungguh menang ialah mereka yang tetap meramaikan tempat ini dengan atau tanpa keberadaanku. Terimakasih Kek, telah menyambutku dengan alunan merdu dari tempat ini, yang tiada henti bersahut-sahut 30 hari penuh"

"Sebelum pergi, yakinkan kami terlebih dahulu, akankah kami kuat melewati hari-hari kedepan, tanpa kemuliaanmu?" pemuda yang sejak tadi berdiri mematung menyaksikan orang-orang silih berganti menyatakan ketidaksiapan mereka untuk ditinggal, mulai angkat suara. Matanya kini tertuju pada remaja tersebut, ia sudah tidak mampu lagi menahan air matanya.

"Ya akan, kau akan, kalian semua akan" suaranya bergetar, kertas-kertas catatannya telah basah oleh air mata.

"Meskipun mereka tak lagi dibelenggu?" sela pemuda tersebut.

"Ya, Meskipun mereka tak lagi dibelenggu" jawabnya tegas.

Keharuan ditempat ini menjadi semakin tak terbendung, pemuda itu berlari memegangi tangannya yang bergetar akibat sedih yang ia pun tak mampun menahan,
"Oh, Bolehkah jangan pergi?"

Ia balik menggenggam tangan pemuda itu "Bolehkah aku bertanya hal yang sama? Bolehkah kalian jangan pergi?" kini terisak-isak dalam tangis.

"Jangan pergi dari terus menyemangati gadis kecil itu dan usahanya menyemarakkan kehadiranku? Jangan pergi dari menyenangkan hati ibu-ibu yang telah lama menanti kehadiran keluarganya dirumah? Jangan pergi dari meramaikan bagunan tua yang telah dijaga oleh kakek itu puluhan tahun lamanya?"

"Bolehkah aku minta kalian semua jangan pergi dari segala bentuk kebersamaan kita?" suaranya bertambah serak dan bergetar.

"Maka, tetaplah meminta, ampunan dan apa saja kebaikan yang kalian inginkan. Tetaplah terjaga dimalam-malam romantis antara kau dan Dia Yang Maha Mengabulkan Segalanya. Tetaplah ingat akan rasa lapar yang setiap hari dirasakan oleh saudara kita yang lain. Tetaplah beri perlawanan penuh untuk nafsu, yang sungguh lebih berbahaya dari mereka yang akibat keberadaanku terbelenggu."

Sejenak, hingga dua makhluk tiba, mengisyaratkan waktu keberangkatan telah datang.

Ia memeluk pemuda itu seraya berbisik "Percayalah, kau selalu lebih kuat dari keadaan. Aku tau, kini, kau sudah lebih kuat dan siap menghadapi apapun. Aku sudah merasakan kekuatan itu. Berjanjilah untuk tidak menyerah."

Tak lama, kemudia ia benar-benar telah hilang dari pandangan mata.

Pemuda itu berguman "Ya Ramadhan, aku berjanji kali ini tidak akan sama, doakan aku agar tidak lagi pergi dari kebersamaan yang telah sama-sama kita bangun"

Epilog : Pemuda itu bergegas mengambil wudhu, ia tak ingin melewatkan tarawih terakhir malam ini. Kepergian Ramadhan telah mengajarkan arti penting dari kebersamaan bagi diri si pemuda, bahwa kebersamaan yang sebenarnya bukan soal seberapa lama waktu yang dihabiskan, melainkan seberapa berbekas kehadiran dari ia yang pernah membersamai.

Komentar