Yang Baiknya Kita Hargai degan setara

Sebagai bayar hutang tulisan Juni minggu pertama,

Sebelum ajang pemotongan qurban masal besok hari,
Kamis, 30 Juli 2020. 
Di dataran c38 yang permai

Agaknya petuah "Pengalaman adalah guru terbaik" bisa menjadi petuah terbaik sepanjang kehidupan manusia. Selayaknya guru dan mata pelajaran yang diberikan sekolah, keberadaannya tentu untuk mengajarkan kita sekelumit hal tentang dunia. Entah apa yang diajarkan itu kita rasa penting atau tidak, kita butuhkan sekarang atau baru nanti terlihat gunanya, apapun itu, yang namanya guru, pasti mengajarkan sesuatu.

Sebut saja pelajaran olahraga. Pelajaran yang tak pernah benar-benar diseriusi, kecuali untuk mereka yang memang punya tujuan mendalami. Pelajaran olahraga yang hanya jadi favorit jika menawarkan akses keluar kelas dan main di lapangan, lalu menjadi anak tiri ketika sesi teori dalam kelas menghampiri. Mata pelajaran yang buku LKS nya hanya akan dibuka sehari menjelang ujian tulisnya dilaksanakan. Ya, yang benar saja ada siswa yang akan repot-repot mengingat tata aturan lapangan voli, sejarah permainan takraw atau syarat yang harus dipenuhi agar bisa menjadi wasit renang. Tidak ada (setidaknya di kalangan penulis dan teman-temannya), karena toh tak diperlukan juga dalam kehidupan dan tidak menjadi penentu kelulusan. Kita tak akan ketinggalan zaman atau tersisih dari pertemanan hanya karena tidak mengetahui hal itu.

Namun, setidaknya sekali mahir mempraktekkan cara chest past, dribbling dan service, selamanya kita tidak akan kehilangan keahlian itu. Sebab, teknik-teknik itu akan masuk memori jangka panjang atau tepatnya procedural memory, yang tidak hilang meski lama tidak dilakukan. Sama seperti keahlian mengendarai sepeda. Yeah, meski tidak terlalu signifikan, pelajaran olahraga setidaknya mengajarkan bahwa sekedar niat rekreasi saja justru bisa membekas selamanya. Atau yaa, bisa juga menjadi momen  tebar-tebar pesona dilapangan ala iklan deodoran wkwk.

Lain lagi dengan pelajaran wajib seperti Bahasa Indonesia dan Matematika. Meski tak semua suka, namun tetap saja wajib ada. Wajib dipelajari dan lulus uji sebagai syarat kenaikan kelas.

Anggaplah pelajaran Bahasa Indonesia sebagai pengalaman yang dianggap penting dalam hidup, mungkin ia cocok diasosiasikan dengan pengalaman gagal. Pelajaran bahasa Indonesia yang identik dengan diksi, olah rasa, cara berkomunikasi, aturan yang tidak baku, dan penuh subjektifitas agaknya selaras dengan pengalaman gagal yang biasanya penuh dengan cerita, dipersepsikan berbeda pada tiap orangnya dan mampu memunculkan perasaan senasib bagi yang pernah mengalaminya. 

Berbeda dengan Bahasa Indonesia, pelajaran matematika yang identik dengan sesuatu yang tegas, butuh perjuangan, aturan yang baku dan lebih diaku kala mampu menguasainya ( menurut penulis yang bias) ini bisa diasosiasikan dengan pengalaman berhasil. Yap, pengalaman berhasil yang biasanya bersifat universal dan konkrit seperti pencapaian akan suatu hal. 

Di dunia ini, ada yang lebih suka pelajaran bahasa Indonesia, dan ada pula yang lebih menggandrungi matematika. Ada yang lebih mudah mengenang dan lebih hidup kala mengingat pengalaman gagal, ada pula yang lebih suka dan lebih bernyawa saat mengingat keberhasilannya. 

Namun, seperti Matematika dan Bahasa Indonesia, sesungguhnya kita butuh akrab dengan keduanya untuk lihai menghadapi tipuan dunia.

Yang terlalu senang bermain-main dengan ingatan gagal akan kesulitan membaca nyala dari kesempatan di depan mata. Begitupula dengan yang enggan melalui gagalnya, tentu ia hanya akan berakhir sebagai matematikawan ambis nun anarkis.

Maka, agaknya kita memang harus adil dalam menghayati dan menghargai keberadaan mereka, kegagalan harus diterima agar hidup kian bijaksana, pun keberhasilan tak kalah penting diakui agar perjuangan tetap menjadi singgasana utama melewati dunia (yang suka sekali bikin nyerah terasa nyaman).

*plus jangan lupa, pelajaran-pengalaman rekreasi cuma-cuma yang selalu saja membuat hidup jadi lebih berwarna ;)
 
   melihat dunia, lebih berwarna

Komentar