Adil Tidak Adil

Rasa tidak adil seringkali menjadi penyebab dari gusar yang susah dialihkan menjadi mode 'bodo amat'. Setidaknya bagi sebagian orang dan tentunya yang membuat tulisan ini. Yak, perasaan tidak adil tak dipungkiri selalu ampuh bikin ambyar bin tidak fokus, disamping kalau sudah lekat susah dipaksa lepas bagaikan dua orang LDR yang baru bertemu lagi (hiyah).

Jika diejawantahkan, mungkin akan lahir kalimat-kalimat sesak semacam ini:

(1)"Aku kan bersihin lorong kanannya kayak gini, kok dia bersihin lorong kirinya kayak gini aja sih?Kzl"

(2) "Kemarin kan aku udah angkat galon, sekarang galonnya udah abis, kok gak pada sadar yaa buat gantian angkat galon baru keatas?"

(3) "Huh, tega banget sih, kan harusnya piketnya dari kemarin, sekarang udah mau masuk jadwal piket kedua, kan yang piket kedua jadi kebagian double kotornya"

Dilihat dari kasus yang menjadi contoh, jangan ditebak apakah itu yang dirasakan penulis saat ini atau tidak (wkwk nulisnya dengan tekanan maksimal pada keyboard yang sudah menjerit-jerit).

Setelah merenung cukup lama, tersadarlah penulis bahwa sesungguhnya yang jauh lebih membuat gusar adalah ekspektasi dan perasaan tidak berdaya yang dihadiakan oleh si ekspektasi ini.

Yap, sepertinya perasaan tidak adil adalah peranakan resmi dari ekspektasi yang sering menjadi momok manusia abad 21 yachh.

Ah, begitu ternyata cara mainnya yaa ekspektasi. Bisa-bisanya kamu banyak tipu muslihat begitu.

Kita ambil contoh kalimat-kalimat diatas. Pada kalimat pertama, jelas sekali bahwa si X sedang berandai-andai kalaulah si Y melakukan seperti yang ia lakukan, pastilah ia akan jauh lebih senang. Situasi ini megaskan bahwa sesederhana itu, kita bisa secara tidak sadar menaruh sumber-sumber senang kita pada orang lain. Sesederhana itu pula, seseorang yang lain itu tidak bersedia hingga kita kesal dan jadi tidak berdaya (karena udah terlanjut dititipin senangnya).

Tidak jauh berbeda dengan kalimat kedua. Ternyata tidak sulit bagi ekspektasi membuat kita pundung karena berharap orang lain berpikir sama dengan apa yang kita pikirkan. Padahal ya jelas akan berbeda. Sebab tidak ada yang namanya keahlian membaca pikiran di dunia yang fanahh ini, dan biarlah tetap tidak ada sampai kapanpun (karena ngeri juga kalau sampai ada kayak di film fantastic beasts huwhuw).

Nah, pada kalimat ketiga lebih kentara lagi. Perasaan tidak berdaya itu dicetuskan oleh kata 'tega' yang dibuat-buat sendiri oleh pikiran. Ibaratnya demen aja gitu nyakit-nyakitin diri pake kalimat yang udah tau pasti menyebalkan didengar. Dan voilaaaa, semakin bertahtalah ia rasa tidak berdaya sebagai suntikan dari ekspektasi yang diakibatkan keinginan mengontrol hal-hal yang dari oroknya emang gak dibawah kuasa dan kontrol diri sendiri aja gituh.

Tapi yeah, niminyi jigi manusia. Sukanya ngelakuin yang udah tau gak baek yaa memank wkwk

Akhirnya yeah, kalaupun mau diliat dari sisi adil yang lain yah bisa-bisa aja.

Misal, kenapa si X bersihinnya kayak gitu, si Y enggak. Ya bisa aja karena si X lebih lowong, lebih tau dan lebih punya skil untuk melakukan lebih baik dari si Y.

Kenapa si X sadar buat angkat galon, ya karena si X minumnya kayak onta, jadi dia yang paling perlu air daripada yang lain.

Kenapa si X yang  ontime soal waktu piketnya yang lain engga segitunya, ya karena si X sudah mendapatkan pencerahan untuk menjadi anak yang baik, sholeha, rajin menabung dan disayang oleh dirinya dan calon mertuanya kelak wkwkwk AMIN.

Sekian, dan tulisan ini adalah salah satu regulasi emosi paling mantulita se-gedung biru inih, YAY ME! ahhah (astagfirullah jauhkanlah penulis dari keongehan yang tidak penting ya Allah..)

Lenteng Agung, 1 Oktober 2020.



(biar ga mumet makan sore  hokben dulu di rooftop hahaha)


Komentar

  1. hahahhaha me sering berkutat dengan ini juga nih, dr sisi yg kena curhatan dan omelan dengan kalimat2 kayak:

    1. kenapa sih si A kerjanya gini, kan harusnya gini kata si B
    2. kenapa si perhatiannya lebih banyak ke si B dari pada si A *loh e

    hiihii berlaku adil sulit emang, apalagi mengukur kadar keadilan,
    apakah adil berarti harus distandarisasi ?, lebih sulit lagi karna kapasitas orang berbeda2, apakah adil berarti harus memenuhi segala ekspektasi ?, wah ekspektasi orang beragam

    dih dah pengomen juga masi belajar, mungkin adil berarti menjawab ekspektasi kali ya sesuai kadar yg berhak diterima.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wow, thankyou buat komennya ya! Jujur itu jadi nge-buka ruang pandang baru dari kata 'adil' dan 'ekspektasi' yang kayak punya hate-love relationship gitu ya wkwk.

      Hmm, iya yah, tapi mungkin disitu seninya adil kali ya, karena ga ada dan gak bisa dikasi standar baku.

      Makanya mungkin kemampuan berlaku adil itu juga gak semata melibatkan orang-dan orang (yang punya beragam ekspektasi), tapi lebih jauh, mungkin semacam ilmu yang dipelajari dari renungan yang panjang tentang gimana cara 'menaruh sesuatu pada tempatnya'. Hmm, jadi sadar kenapa kata-kata Pramoedya Ananta Toer jadi segitu terkenal "adil sejak dalam pikiran". Karena akhirnya naruh ekspektasi ke orang juga harus adil.

      Nais kesimpulannya menarik sih "Adil berarti menjawab (tambahan : dan memberi) ekspektasi sesuai kadar yang berhak diterima" :)

      Thankyou udah bertukar pikiran

      Hapus
    2. HalOoo00 sudah lama tak update niihh, hampir genap 100 hari lho ( 94 hari ).

      "Jika di 2019 penulis yang pemalas ini berhasil memaksa dirinya menulis minimal satu setiap bulan, maka 2020 agar supaya terjadi peningkatan, penulis akan berusaha menulis dan merekap kejadian setiap minggu"

      Ayo paksa diri lagiii penulis pemalas !!

      Hapus

Posting Komentar