Menua


MaknaLibur #1
Tahun 2019 di Mei penghujan, 29.

Setelah naik ojek dari pusat kota menuju rumah nenek di perbatasan. Perjalanan yang menyenangkan. Tidak macet. Ditemani alam yang bersolek tanpa bedak. Plus, pelangi dengan lengkungan 180 terapik sepanjang usia mata memandang.

Sampai. Nenek baru saja kembali dari rumah sakit. Paradigma pengobatan yang tidak bisa ditampikkan. Tukang urut vs operasi tulang. Patah tulang yang cukup serius, “patah tabu” begitu orang lazim menyebutnya. Seperti batang patah. Hasil ronsen yang menyayat hati, untuk seseorang yang diketahui tubuhnya akan berupaya begitu keras menumbuhkan sel-sel baru. Gadis rantau yang mencoba tau diri mencoba memberikan wajah terbaik. Tidak boleh terlalu panik. Tidak boleh terlalu bersedih. Tapi tidak juga boleh ketawa cekikikan, karena nanti bisa dianggap tidak ada empatinya, meski sangat ingin memecah ketegangan yang menyeruak hingga atap.
 
Disamping pemandangan dua orang tua yang sakit, yang berusaha menyemangati dengan Bahasa yang tidak akan seorangpun mengerti. Lebih romantis dibanding kisah manapun di film-film Disney. Selain pemandangan itu, menegangkan.

Lalu gadisi itu memberanikan diri. Katanya sejak bayi manusia menyukai ritme. Sebuah elusan di kulit mungkin dapat membantu. Setidaknya membuatnya tau, sebuah tangan berusaha menjalankan fungsi manusianya saat itu.

tangan yang memikul banyak sekali hal setelah 75 tahun penciptaannya

Tangan itu begitu lemah, disusul jaringan-jaringannya yang mulai tidak rapat. Keriput yang sebenar-benarnya keriput. Kulit yang seperti ingin memisahkan diri dengan tulang.

“Ya Tuhan, menjadi tua adalah misteri yang sungguh misteri. Kenapa orang mesti menua? Kenapa mesti selnya tidak lagi beregenerasi? Kenapa mesti lebih lemah dan rentan sakit? Padahal bukannya sebaiknya semakin sehat biar gampang ibadah? Biar mempersiapkan akhir hidup yang baik?”

Lalu hari ini, pertanyaan itu agaknya menemukan peraduannya.

“Barangkali karena itulah kesempatan seorang anak dapat berbakti dengan sepenuh hati pada orang tuanya. Agar Tuhan melihat, siapa yang tidak menyia-nyiakan kesempatan surga, dengan memuliakannya (orang tua)”.

Gadis itu tersenyum. Menggenggam erat tangan wanita yang selalu bahagia berbagi ampas kelapa untuk dijadikannya mainan saat ia kecil.

-Lekas sehat nek, ayamnya kangen dikasi makan sama nenek. Hehe (psikolog hewan?), ayok nek, biar bisa ke depok Februari tahun depan.

Komentar