Yang tidak akan usai kita bahas : Keluarga
MaknaLibur #5
Setelah hujan enggan reda (ingat hujan bukan tanda kesedihan loh ya), di pagar depan 12 Juni 2019.
Setelah hujan enggan reda (ingat hujan bukan tanda kesedihan loh ya), di pagar depan 12 Juni 2019.
Suatu hari di sebuah
sesi tanya jawab, “Kak, misalnya kita selesai melakukan sebuah pengabdian nih,
udah bagus, berhasil gitu. Gimana ya kak caranya supaya apa yang kita udah lakukan
di lokasi pengabdian, bisa juga kita terapkan sama orang-orang di lingkungan
terdekat kita? Soalnya kadang susah gitu lho kak, kalau harus melakukannya sama
orang-orang terdekat, susah aja gitu kalau mau menjadi kita yang waktu di acara
pengabdian, yang sabar, baik, rajin, di tengah-tengan teman atau keluarga
terdekat kita. Gimana ya kak biar bisa mempertahankan itu semua?”
Lalu seseorang yang dipanggil kakak itu, tersenyum.
Memandang jauh menuju ingatan-ingatan yang lumrah.
Ia tidak pernah siap menjawab. Karena jelas ia bukan seorang yang pakar untuk menjawab, apapun itu pertanyaannya.
Tapi, pertanyaan tidak bisa menunggu. Syukurlah tidak perjanjian harus benar juga.
Ia tidak pernah siap menjawab. Karena jelas ia bukan seorang yang pakar untuk menjawab, apapun itu pertanyaannya.
Tapi, pertanyaan tidak bisa menunggu. Syukurlah tidak perjanjian harus benar juga.
Seseorang yang dipanggil kakak itu mencoba memuntahkan hasil
perjalanan sinaps-sinaps di otaknya.
“Itu pertanyaan yang bagus banget sih. Iya yah, kayaknya kita
semua harus berusaha menemukan jawabannya deh, hehe. Tapi, kayaknya memang kita,
manusia tabiatnya gitu gak sih.
Misal nih, waktu dilokasi pengabdian, ada yang butuh bantuan
dikit, lari-lari bahkan biar kebagian bisa bantuin. Apapun.. nyuci piring kek,
nyabit rumput, pergi kepasar, sekalipun yang belum pernah atau hal yang gak
biasa kita lakuin. Bela-belain deh pokoknya.
Coba giliran dirumah, misal ibu minta tolong pas kita lagi
apa gitu, mau ada kegiatan atau lagi leyeh-leyeh, ‘cuciin piringnya ya’,
kayaknya geraknya susah gitu, berat, semacam ada paku yang menahan, wkwk
(alay)?"
Tapi ya gitu, kenapa ya?
1.
Power of niat.
Mungkin karena waktu di lokasi pengabdian,
kita udah mengerahkan segala niat kita buat jadi orang yang berfaedah disana.
Jadi, di momen yang langka itu kita gak mau kehilangan kesempatan untuk bisa mengeluarkan
tenaga, waktu dan pikiran terbaik barang sekali aja (karena kita gak pengabdian
tiap saat kan, lebih banyak masa-masa dimana kita ngampus, menjalani kehidupan
sebagai anak orang, sante-sante di kafe, dibandunggak posisi sebagai pelaku pengabdian
atau volunteer).
2.
Jujur aja, kita semua itu pencitraan (butuh
penerimaan)
Bisa juga karena ya, kita ga perlu pencitraan lah ya ama ibu atau orang terdekat kita. Misal ibu, mau pencitraan kayak apa juga, dia udah tau kita dari orok gimana. Jadi tidak usah repot. Makanya di rumah kita lebih mungkin memunculkan perilaku menyebalkan, atau malas yang tidak terminimalisir. Karena berbeda dengan waktu pengabdian, dimana mungkin disana orang-orang baru yang kita kenal, kita secara manusiawi akan menunjukkan sikap sikap baik agar mendapakan penerimaan.
Bisa juga karena ya, kita ga perlu pencitraan lah ya ama ibu atau orang terdekat kita. Misal ibu, mau pencitraan kayak apa juga, dia udah tau kita dari orok gimana. Jadi tidak usah repot. Makanya di rumah kita lebih mungkin memunculkan perilaku menyebalkan, atau malas yang tidak terminimalisir. Karena berbeda dengan waktu pengabdian, dimana mungkin disana orang-orang baru yang kita kenal, kita secara manusiawi akan menunjukkan sikap sikap baik agar mendapakan penerimaan.
3.
Insting bertahan hidup (cara aman memprediksi
keadaan)
Nah, sejalan dengan kemungkinan alasan nomor dua, karena kita tau ibu kita (misal) yang sudah kenal kita sejak kita bahkan belum mengenal diri sendiri, jadi kita woles. Karena mungkin kita secara tidak sadar akan berpikiran, “Ya, ibu mau gue mau bandel, nakal dan malas bin menyebalkan juga gak akan benci, kan gue anaknya”. Perasaan bahwa yang dekat dengan kita akan lebih mudah memaafkan diri kita, mampu membuat perilaku perilaku sosial yang diharapkan boleh jadi tidak dimunculkan sebanyak saat kita berada dilingkungan dimana kita tidak bisa memprediksi orang-orangnya. Yap, kayak pas pengabdian, kita masih menerka-nerka jenis manusia yang ada di sekeliling kita. Jadi, untuk langkah penyelamatan dan sebagai manusia yang memiliki insting bertahan hidup yang tinggi, sikap dan perilaku baik agaknya akan membuat kita merasa aman.
Nah, sejalan dengan kemungkinan alasan nomor dua, karena kita tau ibu kita (misal) yang sudah kenal kita sejak kita bahkan belum mengenal diri sendiri, jadi kita woles. Karena mungkin kita secara tidak sadar akan berpikiran, “Ya, ibu mau gue mau bandel, nakal dan malas bin menyebalkan juga gak akan benci, kan gue anaknya”. Perasaan bahwa yang dekat dengan kita akan lebih mudah memaafkan diri kita, mampu membuat perilaku perilaku sosial yang diharapkan boleh jadi tidak dimunculkan sebanyak saat kita berada dilingkungan dimana kita tidak bisa memprediksi orang-orangnya. Yap, kayak pas pengabdian, kita masih menerka-nerka jenis manusia yang ada di sekeliling kita. Jadi, untuk langkah penyelamatan dan sebagai manusia yang memiliki insting bertahan hidup yang tinggi, sikap dan perilaku baik agaknya akan membuat kita merasa aman.
Yak, sebuah fakta yang bikin pengen guling-guling
bamboo (eh bisa jadi tebak-tebakan, “bantal bantal apa yang bisa terbang??”
wkkwk), tentang bagaimana sebenarnya sebuah hubungan yang dekat sesungguhnya
sangat mungkin jadi menyebalkan dan menarik disisi yang lain.
Maka, penulis yang sotoloyo tapi ingin
tetap menulis ini berpendapat, bahwa keluarga sangat mungkin menjadi arena
dimana siklus “saling menyakiti” itu senantiasa berputar. Pasalnya, saat kita
merasa bahwa tidak masalah melakukan kesalahan pada orang yang kita merasa dekat,
namun disisi lain sebenarnya akan sangat sulit melupakan kesalahan besar yang
dilakukan oleh orang yang kita merasa dekat. Ya, tidak lain karena bukankah
yang paling dekat dengan kita yang harusnya paling tau cara memperlakukan kita.
Bukankah karena kita dekat maka seluruh kebaikan wajarnya bermuara pada satu
sama lain?.
Sehingga, disaat yang sama. Keduanya
tersakiti.
Sakit karena ternyata menerima perlakuan tidak menyenangkan dari
yang seharusnya paling tau cara membuat bahagia. Juga, sakit karena ternyata
maaf tidak semudah itu bahkan bagi yang paling tau bahwa kita memiliki banyak
kelemahan dan menginginkan sebuah penerimaan.
Jadi, sesuai dengan judul tulisan yang entah
kenapa jadi sangat panjang ini, terimalah. Karena hanya dengan menerima, kita
bisa lebih terbuka mata dan hatinya, tentang banyak hal yang sama-sama sedang berusaha kita pahami. Tentang kalimat klise bahwa :
Hanya
dengan penerimaan, sebuah cinta dan kedekatan, dapat benar-benar teruji.
bersama yang telah banyak menerima (menerima anak yang sering bikin rusuh hehe) |
Hai Dian,
BalasHapusDitengah pencarianku tentang hal-hal terkait psikologi aku menemukan blogmu dan kiranya tertarik dengan ragam tulisanmu di sini.
Tulisanmu bagus!
Tetaplah menulis!
Salam.