Air mataku untuk Amoy

Setelah kejadian dini hari tadi, disinilah aku sekarang. Memakai seragam agak kusut, sebab sempat merebahkan diri setelah berpakaian lengkap. Kalian pasti tau betapa asiknya bisa tidur setelah begadang dan menghadapi kejadian super emosional. Tidur pagi yang nikmat. Ah, ingin sekali aku bisa membolos dengan alibi radang tenggorokan.

Tapi tidak bisa. Ibuku dokter. Ia akan melakukan serangkaian aksi periksa-periksa mendalam, pertanyaan bernada introgasi, dan yang paling menyulitkan adalah saat ia menaruh sepaket tablet vitamin dan segala herbal-herbalan yang tidak tersentuh jika tidak ada yang sakit.

Waktu SD pernah juga aku tidak mau pergi kesekolah dengan alasan ada teman yang suka menjahili. Lalu terbanglah ayahku dari tempat prakteknya menuju sekolah. Menggunakan segala pengetahuannya untuk memberitahu guru-guruku bertapa buruk perundungan bagi perkembangan siswa. Dan.. itu tak tergolong memperbaiki keadaan untukku. Guruku jadi agak sungkan padaku, memperlakukanku terlalu istimewa hingga.. akupun dijauhi oleh teman-temanku. Sungguh ironi. Diselamatkan dari perundungan dengan maksud agar bisa berteman dengan baik, tapi malah kehilangan teman.

 Yap, ayahku seorang psikolog yang cukup ternama dikota ini. Ternama juga di rumah, karena teori-teori psikosomatis yang ia bicarakan seringkali membuat ibu tersinggung.

Orang mungkin akan berpikir hidupku sempurna. Punya orang tua yang mahir soal-menyoal kesehatan. "Raga, jiwa, harta.. lengkap hidupmu tanpa derita!" kata seorang kawan SMP yang menjauhiku karena latar belakang hidupku. Aku-pun tak menyangkal kalau aku lebih mudah memahami pelajaran dibanding rata-rata siswa lain. Mungkin berteman denganku membuatnya merasa tidak beruntung. Aku sudah terbiasa. Kehilangan teman karena dekat denganku membikin mereka jadi susah bersyukur dengan hidupnya, telah menjadi kudapanku setiap masuk sekolah baru.

Tidak pernah lagi kuceritakan pada ayah kalau ada masalah pertemanan atau percintaan disekolah, apalagi memikirkannya sebagai alasan bolos walau ayah pasti akan memahami. Biarlah jadi lukaku sendiri. Kata orang, harus punya luka biar bisa tumbuh jadi bijaksana. 

 Aku cuma berdoa agar punya satu teman yang tidak perlu merasa Tuhan tak sayang dirinya kala mengetahui sedikitnya derita hidupku (yang tampak) serta latar belakang keluargaku.


Tapi semalam, ketika hal itu dikatakan oleh Amoy, entah kenapa batinku jadi terusik.

Rasanya mataku jadi punya debit air lebih banyak. Bisa menetes tiba-tiba. Bahkan saat aku sedang memperhatikan kertas ulangan seperti sekarang. Di depan soal ulangan matematika, butir-butir air begitu saja jatuh dari mataku. Membuat ku jadi blur, berikut kertas yang membasah. 


Aku kira, Amoy-lah orang itu. Satu teman yang kuminta setiap kali ditinggal begitu saja.


"Ya Tuhan, mengapa sulit sekali bagiku memiliki teman yang tidak merasa perlu membandingkan hidupnya dengan aku, dan membuatku merasa terkutuk dengan segala keberuntunganku" lirihku berurai air mata didepan soal matriks yang tiba-tiba tak ku ketahui cara menyelesaikannya.







Komentar