Yang menangis itu, Amoy

 "Rey, bisa kerumahku sekarang?" ucapnya di sambungan telpon dengan nomor antah berantah.

"Rey, ini aku, kau jangan pura-pura lupa suaraku!" sambungnya memaksa, haus respon. 

"Amoy, ini jam 3 pagi. Kau lebih seperti tukang tipu modus 'mama minta tolong' dari pada temanku tau tidak?" jawabku sambil menguap.

"Rey, ini darurat! Tolong, jarang-jarang aku minta tolong padamu!" nadanya memaksa.

Aku duduk megumpulkan kesadaran. Kesal juga, kenapa pertemanan ini jadi berisi paksaan. Huft!

"Amoy, kau sedang mengigau? Mau pakai apa aku kerumahmu?" nadaku sedikit kesal.

"Mobil ayahmu! Katanya kau sudah pernah membawanya kesekolah waktu hari libur?!" Amoy semakin mendesak. Tidak peduli pada fakta waktu itu aku hampir menabrak itik orang .

"Aku tidak tau dimana rumahmu?" keluhku seadanya

"Ya Tuhan Rey, aku tidak ada waktu bercanda, ibuku bisa mati kalau kau sampai tak datang kesini!" tutup. Telepon itu resmi ditutup. Resmi mengancam. Resmi membuatku tak lagi bisa berpura-pura tidak tau dibalik selimut. Kalian tau, segala yang berhubungan dengan Mama Oye, tidak pernah main-main. 

Inilah konsekuensi dari sok heroik mau tau cerita hidup orang. Lebih parah lagi berharap dan benar-benar jadi orang kepercayaan. Besok-besok hal buruk menimpanya atas cerita yang pernah ia percayakan, kau mutlak merasa bertanggung jawab menyelesaikan. 


Aku tau rumah Amoy. Tentu saja, mampir yang belum. Katanya ada masanya nanti aku akan mampir. 

Yah sekaranglah maksudnya 'nanti' itu. 

Ku ambil kunci mobil ayah yang menggantung dekat pintu. Sungguh tempat yang jauh dari aman untuk meletakkan kunci. Aku ambil segelas air, minum seperti onta gurun. Baiklah jika aku menabrak sesuatu dan jadi kena marah, setidaknya aku bisa bersertifikat sebagai teman baik atau teman sok-sokan yang membantu menyelamatkan nyawa ibu temannya. Semoga saja. Itupun kalau aku menabrak dan masih sadarkan diri hingga bisa sampai kerumah Amoy sebelum terlambat. 

Aku pasti bisa. Jam 3 pagi, tak ada yang cukup morning person untuk memulai berkendara di jam ini. 

Aku menyalakan mobil kijang tua itu. Berdoa agar tak ada itik pagi hari yang mengerjai. Berharap aku tak sering mimpi buruk karena apa yang akan aku lihat nanti.


Mobilku, maksudnya mobil ayahku kini resmi melintas di jalan utama. Lancar. Kecuali kalau tiba-tiba ayah menelpon karena mendengar deru mobil tuanya keluar dari garasi. Satu belokan lagi, rumah Amoy akan tampak. Katanya sih. Kan aku hanya tau dari ceritanya. 

Rumah ruko itu tampak sepi. Tentu, toko spare part mana yang buka sebelum subuh. Ini toko spare part bukan tempat tambal ban 24 jam. Dua lampion khas keluarga china kelihatan bergelantungan di rumah bagian atas. Redup. Mungkin cocok dikaitkan dengan istilah 'hidup segan mati tak mau' yang sering digunakan si guru bahasa Indonesia kala mengomentari wajah lesu murid kelasnya. 

Aku telepon Amoy dengan nomor antah berantah yang digunakannya 30 menit lalu. 

"Moy, aku di depan" suraku pelan.

Hanya terdengar isakan tangis, dan telepon itu ditutup.

Pintu ruko yang seperti prisma segitiga berjejer itu segera terbuka. Amoy keluar menggunakan stelan baju tidur angry bird. 

Amoy memintaku masuk. Tak bisa ia menyembunyikan mata basahnya meski ku tau ia ingin.

Kami menaiki tangga. Masuk ke ruang tengahnya yang memanjang. Masih redup, hanya lampu oren yang biasa digunakan tidur yang menjadi penerangan. 

Aku sudah tidak sabar melontarkan pertanyaan. Apa yang demikian genting di rumah yang sepi begini. Tidak terlihat tanda-tanda ada yang bisa dibantu.

Seketika Amoy menangis. 

"Ada apa Amoy?"

Ia tetap menangis dengan sura yang ditahan.

"Amoy?" pintaku memelas.

Ia masih menutupi mukanya dengan telapak tangan yang terlihat keriput lama terendam air.

"Amoy, tidakkah kau mau menceritakannya?" nada suaraku makin memelas.

Amoy menurunkan tangan dari wajahnya. 

"Rey, apa rasanya diciumi oleh ayahmu setiap pagi di gerbang sekolah? Apa kau benar membenci hal itu? Sungguh Rey, aku menginginkannya. Bisa kah kita bertukar kehidupan saja? Kau bertanya-tanya apa gunanya sekolah jika hanya untuk membuat orang tua bangga, sungguh Rey aku ingin itu, aku ingin memiliki orang untuk ku buat bangga!"

Amoy lanjut menangis. Meraung-raung.


Menyisakan aku yang terdiam seperti mpek-mpek beku. Kehilangan kekenyalan.




Komentar