Namanya Amoy

 Pagi ke-678 ku menginjakkan kaki di sekolah ini. Yah, tidak ada yang berubah kecuali pohon pinus ditepi lapangan yang makin hari makin rindang ku lihat. 

Ayah mengantarku hingga gerbang sekolah. Sudah ku katakan jangan lakukan itu sejak dua tahun lalu. Tapi apa daya, ia sepertinya senang memamerkan adegan ramah-tamah pada bapak satpam dan ritual kecup kening sebelum berpisah kepada seluruh siswa di pelataran gerbang. Entahlah, aku sudah bosan merasa malu. Jadi ku biarkan saja. Berlalu seperti tak pernah ku tau.

Kulihat Amoy tergopoh-gopoh mengayuh sepedanya dari ujung jalan. Ah, tentu saja. Anak blasteran itu memang suka menguji nyali. Dua menit lagi gerbang ini akan berubah jadi pintu kesengsaraan. "Tidak bisa masuk sebelum orang tua datang". Begitu menyengsarakan hingga kenakalan bangun kesiangan bisa begitu jadi penyesalah. Hubungan ibu-anak yang jadi berantakan, hanya karena pertemuan dengan guru BK yang memalukan. Siapalah guru BK itu bisa main cap orang tua tak ikut mendidik anak di rumah. Tapi ya, begitulah. 

Jangan sampai Amoy terlewat. Besitku sembarangan dalam hati.

 Kini sepeda Amoy menukik, hampir terjepit kena kegarangan satpam menarik pagar besi. Syukurlah, ia berhasil lolos dari maut.

"Amoy-Amoy" Selalu asik menjadikan namanya kata ejekan.

"Kau bertengkar lagi sebelum kesekolah?" Tanyaku sambil tertawa

"Aku? Tidak mungkin Rey. Di kota ini, aku anak paling disayang oleh Mama Oye" ujar Amoy sambil menunjuk-nunjuk dirinya.

"Terserah kau lau Moy" pangkasku sambil geleng-geleng kepala.

Amoy. Jika kalian cari di Google, kalian akan mengira yang bukan-bukan soal arti namanya. Tapi yang ku tau Amoy hanyalah singkatan. A-nak M-ama Oy-e. Yah, setidaknya itulah yang dikatakan Amoy saat ia menjadi murid pindahan disini. Aku tidak juga mau berbelit-belit bertanya kenapa.

Yang ku tau, gadis bergigi gingsul itu, namanya Amoy. 




Komentar