Guru favorit Amoy

Jam istirahat selalu menjadi bulan-bulanan dari perut yang menggerutu akibat satu kertas penuh berisi puisi. Ya, kalian mungkin tidak percaya, di sekolahku orang-orang lebih membenci pelajaran bahasa Indonesia ketimbang matematika. 

Aku sudah melakukan observasi mendalam terkait fenomena ini. Yak, jika kalian tiba-tiba melihat gerombolan siswa dari satu kelas nangkring di kamar mandi, tidak berbicara dan hanya menatap cermin seperti orang kematian bini, mereka itu pastilah sedang belajar bahasa Indonesia. 

Sejak kedatangan guru baru dari antah berantah (karena aku juga tidak tau dan tidak terlalu mau tau ia dari mana) itu, perubahan super meyebalkan terjadi dalam sejarah pelajaran bahasa Indonesia di sekolahku. 

Kalian harus tau, di hari pertama masuk kelas, guru aneh ini menggunakan setelan celana dan topi cowboy bak film-film tahun 1970-an. Nyentrik. Aneh. Sangat aneh.

Aku kira guru ini gila. Dan ternyata dia memang gila.

"Hey, lepaskan gadis di dalam bar itu!" ucapnya sembarang seperti sedang di lokasi syuting.

"Mengapa terdiam? Kau kira bisa menyembunyikannya selamanya?" timpalnya tak kalah serius.

Satu kelas hilang suara. Kepala berdenyut melihat parodi guru baru halusinasi ini. Terlihat di jidat setiap orang, berkerunyut seperti seragam yang digunakan kala bangun kesiangan. Tidak sempat distrika.

"Hah.. sudah kuduga, di kota ini diam adalah senjata paling mutakhir. Sama seperti kota-kota lainnya" sambungnya sambil mematut-matut diridi depan papan tulis. 

Masih tidak ada respon. Hening yang sangat lama. Beberapa kawan ku lihat menganga dengan wajah yang begitu konyol. Kalau ia ditemukan gadisnya dengan wajah itu, pastilah langsung ditinggalkan.

"Diam yang menghambat imaji-"

Seorang siswi tiba-tiba berdiri sebelum guru itu menyelesaikan kalimatnya. Tergagap-gagap dengan apa yang akan ia sampaikan. 

Entah apakah ia orang pertama yang akan menyumpahi keanehan guru baru ini, mengusirnya, atau melapornya ke kepala sekolah karena ia lebih mirip pencari onar daripada pencari murid untuk diajari cara membedakan majas. 

Tangan siswi itu terangkat, ia siap melontarkan kalimat yang berisi...

"Sebegitu sombong kiranya engkau Tuan. Berlindung dibalik pakaian necis yang berbeda dari penduduk kota. Lalu sekenanya menuduh kami sama dengan penduduk kota lain yang pernah kau datangi? Gadis di bar itu sedang menerima hukumannya, jangan ganggu kami dan adat kami!"

....berisi sambungan ceita aneh ini

Semua kepala mendongak padanya. Aduh sakit siput gila ini sudah memakan korban jiwa.

"Aku memang bersalah, hukumlah aku!" Teriak seorang siswa lain yang adalah laki-laki.

Dahi ku semakin kusut, apa-apaan ini. Kenapa pula dia jadi memerankan gadis. Dan, itu guru perempuan, kenapa jadi dipanggil Tuan. Dan, yang lebih parah kenapa orang-orang ini. Kerasukan masal, atau apa?

Satu persatu siswa lain sahut menyahut menyambung percakapan. Memunculkan tokoh baru.

"Tolonglah ibuku tuan dan nyonya, ibuku hanya mencuri sabun karena aku yang sudah tidak mandi sepuluh hari"

Tak lama kemudian disudut kiri kelas, seorang siswa lain menimpali.

"Dor-dor" ucap seorang teman kelasku sambil mengacungkan tangan berlagak pistol ke langit-langit. "Aku sherif disini, kekacauan apa yang kalian buat di kotaku?" ucapnya nanar memandangi seluruh peserta-belum peserta-dan penonton setia sandiwara ini.

Sahut-sahutan itu tak terperi, semakin aneh membentuk cerita tanpa alur yang dimainkan pemeran amatiran. Sampai, suara itu mencuri fokus. Suara lonceng istirahan.

"Drrrrrrrr..... drr...." Suara perutku yang ikutan lapar karena keanehan yang baru terjadi di kelas ini. 

Aku hentakkan tanganku di meja dengan begitu kuat. Mungkin partisipasi yang akan membantu orang-orang keluar dari kegilaan cerita tanpa aba-aba ini.

"Bangun, kalian semua bangun! Berhenti bermimpi, keluar dari mimpi orang ini!" ucapku sembarang sambil terengah mengatur napas.

Yah, akhirnya akupun menjadi bagian kegilaan ini. Penutup cerita ini. Karena setelah hentakanku guru itu tiba-tiba bertepuk tangan

"Luar biasa Class, baru saja kita belajar satu komponen penting dalam mencipta sebuah cerita--"

"Kebebasan menyuarakan imajinasi" sambung siswi yang tadi mengawali drama tak bertuan ini. 

----

Sungguh, perutku benar-benar lapar. Nanti saja ya aku ceritakan pada kalian apa isi cerita pagi pertama bersama guru bahasa Indonesia baru itu.

Tapi, seperti cerita klasik lain yang suka ada di toko buku di pasar loak, yah, kalian pasti bisa menebak siapa gadis itu.

Tentu saja, si anak blasteran yang suka menguji nyali. Amoy. 

Itu adalah kejadian 7 bulan lalu. Waktu itu hampir kurasa bahwa setiap kelas yang dia ajar seketika bisa masuk kejuaraan teater nasional. Dan benar, beberapa piala sudah mejeng di dekat kantor guru sehingga guru aneh itu bisa tinggi hati dan melanjutkan metode belajar super jauh dari silabus itu. Nilai bahasa Indonesia sekolah ini pun tak ada masalah. Jadi kepala sekolah lepas tangan dari penderitaan kami.

Semester ini pelajarannya puisi, ku rasa. Ia sibuk menolak-nolaki puisi yang menurutnya dibuat tak dari hati. Janjinya adalah akan mengosongkan nilai raport bahasa Indonesia bagi siapa-siapa yang hanya membuat kalimat berima sekenanya. 

Tema minggu ini kesedihan. Nah, terjawab kan, kenapa orang-orang di kamar mandi jadi seperti kematian bini. Mereka memikirkan nilainya, atau bisa juga lagi menimang kesanggupan menceritakan 'kesedihan' itu sendiri dalam larik-larik puisi. 

Amoy menghampiriku yang sedang makan tahu isi dingin dari kantin pak Alex. Nyengir-nyengir. 

"Mentang-mentang kau suka guru itu, bukan berarti kau bisa menunjukan perilaku antipatimu ditengah kerumunan siswa-siswa yang hampir gila karena puisi mereka tak kunjung diterima" ucapku sambil menatapnya dengan alis yang terangkat.

Amoy tertawa "Kau tau Rey, aku rasa guru satu itu memang benar-benar gila. Baru saja aku mengumpulkan puisiku. Kau tau apa jawabannya 'ayolah jangan bohongi aku, aku tau bukan ini yang sebenarnya ingin kau tulis. Kesedihan yang itu, bukan yang ini Amoy!' "

Aku hanya mengaga. Belum sepenuhnya memahami maksud Amoy. Bukankah ia harusnya bersedih karena kegilaan guru itu karyanya jadi ikut-ikutan ditolak? Lalu mengapa ia malah nyengir dan tetawa?

"Jadi.. ?" tatapku pada Amoy

"Jadi ku rasa ia gila karena ia bisa membaca perasaan terdalamku" 

"Amoy, ia mungkin mengucapkan itu pada semua siswa yang dia ajar. Ia itu sok tau!" sanggah ku secepat kilat

"Entahlah Rey, bisa jadi juga semua orang memang sedang berbohong terhadap kesedihan-kesedihan terdalam mereka, jadi puisinya ikut-ikutan berbohong. Kebetulan guru ini bisa mendeteksi kebohongan itu" jawab amoy begitu tenang. Aku tak tau betul maksud Amoy. Tak ahli soal-menyoal pembicaraan seperti ini.

"Baiklaah.. hmm berarti puisi yang kau tulis itu benar berbohong?" analisis ku mengasal.

"Iya." jawab Amoy tersenyum memandangi lapangan.

Lalu aku yang malas berpikir ini hanya berhasil melontarkan pertanyaan :

"Kalau begitu apa kesedihan terdalammu, Amoy?"

Amoy menatapku dalam-dalam. Membuatku merasa dilumat dalam tatapannya,


Tatapan itu.

Aku tidak tau pertanyaan mengasal itu membuka babak baru pertemananku dengan Amoy. Yang jelas, seperti yang kalian lihat dari ceritaku sebelumnya, Amoy adalah bagian penting dari cerita ini. Nanti akan kuceritakan pada kalian mengapa,

tapi jangan sampai Amoy tau,


Janji?


berhembus terus seperti cerita Amoy




Komentar