#DiariRK Pemaknaan Asrama Desember : "Pelajaran Menunda"
“Cukup kuliahnya
aja yang libur, ibadah, menuntut ilmu dan menabung kebaikannya jangan”
Bulan
kelima diasrama, Desember dan segenap hiruk pikuk UAS yang menyertainya. Tapi
apa yang ingin diceritakan kali ini bukan lagi tentang kepanikan mengatur
jadwal pembinaan dan buku-buku formal yang menunggu ditamatkan, bukan tentang tiara-tiara
terkapar diruang tengah seraya laptop tetap menyala, atau kantuk-kantuk dikala
WBS karena baru semenit lalu rasanya diberi kesempatan memejamkan mata. Bukan
juga soal seruan-seruan “Piket publik!” atau kemarahan kecil dipagi buta karena
cucian piring di wastafel. Kali ini ranting punya cerita yang lain, tentang
sesuatu yang seharusnya menjadi momen yang amat dinantikan setelah serangan UAS
selesai, sebut saja LIBURAN.
Sejak
awal penandatanganan kontrak, agaknya kita telah mendapat “clue” bahwa 22 bulan diasrama ini mungkin akan sangat berbeda
dengan bulan-bulan lainnya. Benar agaknya, bulan kelima diasrama cukup menguji
komitmen dipenghujung juli lalu. “Tidak ada liburan di RK”, kalimat yang
terdengar biasa saja pada mulanya. Pasalnya sejak awal memasuki asrama isu
semacam ini sudah lalu-lalang, namun entah mengapa, lebih sulit menghadapinya
saat ini, saat benar-benar berada pada masanya, masa libur akhir semester
perkuliahan. Berbagai penolakan dan
sebut saja usaha mencari alasan agar bisa menikmati liburan seperti mahasiswa
kebanyakan gencar dilakukan, berbaik-baik pada spv, bertanya dengan nada
memelas atau mungkin saja jurus mata kucing, tetap saja, sistem tetaplah
sistem, dan konsekuensi dari pilihan tidak bisa ditolak, mau tidak mau, suka tidak
suka.
Menjalani
liburan di asrama, ya, itulah faktanya. Beberapa tiara yang mampu memungkinkan
pulang berkumpul dengan keluarga tercinta, tentu tidak melewatkan kesempatan,
pukul 8 pagi hingga 8 malam cukup untuk melepas kerinduan atau sekedar tanda tanya
dari keluarga besar. Namun, beberapa harus menunda dengan sabar karena rumah yang secara jarak tak mudah
ditempuh, dan sayang jika hanya mampu menetap barang sebentar, seraya terus
berusaha mencari kegiatan produktif untuk dilakukan. Beberapa lagi sangat
cerdas, ide “pembangunan daerah” cukup untuk legalisasi pulang ke kampung asal,
ya itu yang paling keren dan tentusaja legal. Tentu saja hal-hal seperti “trust building” turut dibangun sejalan
dengan perizinan demi perizinan yang menumpuk di mailist. Kepercayaan bahwa teman-teman yang izin meninggalkan
agenda benar-benar untuk kegiatan yang lebih memberikan impact harus mampu
dipupuk oleh tiara yang tinggal. Begitupula sebaliknya, tiara yang mendapat
persetujuan izin harus mampu menjaga kepercayaan ini, agar tidak ada yang
merasa didzalimi.
Meskipun
secara implisit RK memang tidak mengenal liburan karena keharusan untuk tetap
memberikan impact yang dibutikan dengan list prestasi tiap minggunya, serta segudang agenda yang sangat anti-libur lain telah hadir sejak
pertama kali memasuki rumah ini. Ya, hal itu membuat saya merenung tentang satu
lagi makna kehidupan yang barangkali lazim dibicarakan pada ceramah-ceramah
mingguan, namun tak ayal sulit diaplikasikan. Adalah tentang kehidupan yang
sesungguhnya bukan tempat untu berlibur, ulama dalam kajian tak bosan
mengungkapkan bahwa dunia sejatinya adalah tempat menanam, adalah tempat
bekerja keras, untuk bisa memetik hasil dan kepuasan pada tempat berlibur
sebenarnya nantinya , dan kita menyebutnya dengan Surga. Ya, dunia terlalu
kecil dan sederhana untuk mampu menampung keinginan dan nafsu manusia yang
tiada terbendung, dunia terlalu
mengecewakan untuk itu! Tidak berlibur, pulang dan berkumpul bersama
keluaga karena pilihan untuk mendaftar dan alhamdulillah mendapatkan kesempatan
menjadi manusia binaan di RK, membuat saya belajar tentang menunda kesenangan
untuk kesenangan yang lebih besar. Menjalani masa pembinaan dimasa liburan
kuliah sekalipun, saya anggap adalah bentuk konsekuensi dari pilihan yang saya
buat, dan tidak dapat disebut sebagai pengorbanan.
Dalam
psikologi istilah menunda kesenangan untuk kesenangan yang lebih besar itu
disebut dengan Delay of Gratification. Sebuah
penelitian tentang inipun sukses dilakukan di Amerika saa itu, menguji
anak-anak dengan mashmallow, yakni membuat mereka harus menunggu dan tidak
diperkenankan memakan mashmallow pertama yang diberikan untuk kemudian
mendapatkan dua bagian jika mereka berhasil melakukannya. Penelitian dilakukan
hingga mereka dewasa dan melihat siapa diantara mereka yang lebih sukses dimasa
depannya. Ternyata hasil menunjukkan bahwa anak-anak yang berhasil menunggu
untuk mendapatkan mashmallow kedua lebih sukses dibandikng dengan yang tidak.
Saya
harap menunda liburan yang erat kaitannya dengan kesenangan dan bisa leye-leye seharian ini bisa saya
manfaatkan untuk terus memupuk diri, memperbanyak ilmu dan memperkuat iman
disini, di asrama yang penuh cerita dan warna ini. Semoga.
Kereta dan Kamar Moderat,
Awal tahun masehi, 2017
Awal tahun masehi, 2017
Komentar
Posting Komentar