Hobi selfie = Narsis (?)

[Selfie mulu', Narsis banget sih?!]

Sebagai kids zaman now,  kita tentu tidak asing dengan istilah 'selfie' yang belakangan ini sering diikuti istilah 'narsis ', terutama untuk mereka yang intensitas selfienya terbilang cukup tinggi.

Namun begitu,  benarkah setiap orang yang hobi selfie itu dapat dikatakan narsis?

Jika narsis yang dimaksud mengarah pada sebuah gangguan,  maka jawabannya adalah 'tidak selalu'.

"Tidak selalu?  Berarti bisa iya juga dong?!"
*(X : Dasar anak psikologi gak konsisten, Y : Eh,  eh kalau ngomong tu yaa, suka bener.  Wkwk,  well yes di dunia psikologi tidak ada sesuatu yang pasti seratus persen,  yang ada hanya kecenderungan,  kemungkinan terbesar,  dugaan terkuat dll. Hanya ada abu-abu,  bukan hitam dan putih. Jadi jangan  heran kalau rata-rata anak psikologi sukanya berpijak di stand tengah atau 'moderate' - sekian oot nya haha)

Nah,  nah,  agar tidak semakin banyak lagi kesimpang-siuran beredar dimuka bumi,  terutama tentang hubungan selfie dan narsis ini,  ada baiknya jika kita berkenalan dengan dia si "Gangguan Kepribadian Narsistik".

Pada zaman dahulu kala (sebelum negara api menyerang) di masa Yunani kuno, terkenanglah sosok mitologi yang bernama 'Narcissus'. Narcissus menunjukkan kecintaannya yang berlebihan terhadap dirinya sendiri,  hal ini ditandai dengan kegemarannya berlama-lama melihat bayangan dirinya  sendiri di air. Nama tokoh inilah yang menginspirasi lahirnya istilah 'narsis' yang kita kenal saat ini (moral value : kalau mau cepat terkenal emang kayaknya harus jadi beda dulu,  biar namanya bisa jadi istilah yang sering disebut-sebut wkwk,  tapi kalau bisa sih yang positip yak).

Para pakar sepakat bahwa dalam diri setiap manusia  terdapat kecenderungan narsistik (keinginan untuk dipuji,  menyukai diri sendiri dll) dengan kadar yang tidak sampai menganggu kehidupan sehari-hari tentunya. Hal ini lah yang kemudian memberi batasan apakah sebuah perilaku yang dapat dikatakan sebagai suatu gangguan atau tidak. Begitupula dengan gangguan narsistik,  karakteristik khusus seperti menganggap diri superior ,  keinginan untuk selalu dipuji,  melebih-lebihkan pencapaian, memanfaatkan orang lain untuk kepentingan diri sendiri,  iri dengan pencapaian orang lain serta adanya fantasi akan kesuksesan,  kecantikan dan kepandaian,  menyebabkan ia dikategorikan sebagai sebuah gangguan. Sebab,  keberadaan karakteristik ini bersifat mengganggu dan tidak terjadi pada setiap orang.

Jika ditanya penyebab,  self esteem (evaluasi individu akan keberhargaan diri sendiri) yang rendah dan lingkungan keluarga yang tidak hangat serta pola asuh yang tidak tepat menjadi faktor penyebab yang paling sering ditemukan dalam banyak studi gangguan kepribadian narsistik.

Mungkin kita akan bertanya, mengapa pada orang dengan gangguan kepribadian narsistik yang seringkali menunjukkan diri sebagai yang paling hebat,  justru memiliki self esteem yang rendah? Hal ini secara sederhana dapat disebut sebagai upaya (defense mechanism) untuk menaikkan self esteem itu sendiri,  meski dengan cara yang kurang tepat. Karena evaluasinya terhadap dirinya sendiri kurang baik (kurang berharga) maka ia melakukan cara-cara untuk mendapatkan lebih banyak lagi pengakuan, pujian dan tempat di banyak setting kehidupannya, agar merasa lebih berharga. (itulah mengapa apa yang terlihat,  belum tentu seperti kelihatannya, *asek)

Lingkungan keluarga yang tidak hangat serta pola asuh yang tidak tepat juga menjadi penyumbang terbesar munculnya gangguan ini. Tidak hadirnya orang tua atau care giver (tokoh penyedia kasih sayang) saat anak membutuhkan tempat berlindung dan cinta dapat mengembangkan self esteem yang rendah pada anak. Anak akan mengembangkan keyakinan bahwa kehadirannya tidak diharapkan sehingga orang tuanya atau care giver nya tidak hadir saat ia butuhkan. Hal lain seperti tuntutan prestasi yang berlebihan dari orang terdekat, serta pemberian pujian yang berlebihan dimasa awal perkembangan anak juga memperbesar tingkat kemunculan gejala pada gangguan ini.

Oleh karena itu,  menciptakan lingkungan yang hangat serta pengetahuan dan pengimplementasian pola asuh yang tepat pada anak,  menjadi pencegahan utama yang ditawarkan oleh banyak ahli untuk mengurangi kemunculan dari gangguan ini. Tidak hanya berlaku pada orang tua,  namun juga kita sebagai bagian dari lingkungan berkembangnya seorang individu.

Penanganan bagi seseorang yang diindikasi memiliki gangguan ini bisa berasal dari terapis dengan berbagai metode intervensi dan juga dari orang terdekat seperti orangtua,  keluarga dan teman dekat, dan tak kalah penting dari individu itu sendiri. Penggabungan dari ketiganya akan berefek lebih signifikan.

(Ceritanya saran praktis) Menurut penulis, sebagai teman atau patner yang memiliki atau mengetahui seseorang dengan gangguan ini, meskipun berat pada awalnya,  berusaha lah untuk tidak meninggalkan orang yang terindikasi gangguan ini.  Menjalin hubungan pertemanan atau hubungan romantis dengan orang yang memiliki gangguan kepribadian narsistik memang bukanlah perkara sederhana. Sebab, sebagai seorang teman atau patner kita diminta untuk lebih memberikan pengertian dan perhatian,  karena kebanyakan orang dengan gangguan kepribadian ini tidak menyadari bahwa perilakunya tersebut mengganggu orang lain. Namun,  jika kita sabar memberikan pengertian dan perhatian, bukan hal yang tidak mungkin jika orang ini dapat menjadi pribadi yang lebih baik dan memiliki kemampuan sosial yang lebih mumpuni. Hal yang dapat kita lakukan antara lain adalah secara konsisten memberikan pemahaman mengapa sebaiknya mereka tidak melakukan hal-hal seperti ingin selalu menjadi superior,  ingin terus dipuji,  memanfaatkan orang lain dan sebagainya. Hal ini juga harus dibarengi dengan pemberian perhatian yang tepat agar ia dapat mengembangkan self esteem nya kembali,  sehingga tidak perlu melakukan cara-cara yang menjadi gejala gangguan tersebut dikemudian hari (lagi-lagi menurut penulis).

Plus,  bagi kamu siapapun itu yang merasa memiliki gejala atau mungkin sudah terindikasi memiliki gangguan ini,  jangan khawatir (insyaAllah selama ada usaha disitu ada jalan *nasihat dari mama duduk). Berusaha terbuka dan bersosialisasi,  melakukan meditasi atau olahraga rutin,  merupakan hal yang sangat dianjurkan untuk kamu *iya kamuu *merasa crunchy. Disamping,  ingatlah untuk meminta bantuan jika memerlukan, karena jika kamu tidak meminta bantuan orang-orang tidak atau mungkin akan lama tersadar kalau kamu membutuhkannya. Its okay not to be okay. Its okay to talk.

Jadi,  kembali lagi ke pertanyaan awal,  apakah setiap perilaku selfie dapat dihubungkan denhan gangguan narsistik? Banyak studi menemukan bahwa tidak semua perilaku selfie atau orang yang hobi selfie itu memiliki gangguan kepribadian narsistik. Menurut penelitian,  seseorang yang berselfie karena ingin menunjukan lokasi atau event tertentu memiliki kecenderungan gangguan kepribadian narsistik yang tidak signifikan. Namun,  menjadi signifikan pada orang yang berselfie dengan menunjukkan bagian fisik tertentu. Meskipun begitu,  hobi selfie tidak bisa dijadikan satu-satunya alasan seseorang dapat dikatakan mengalami gangguan kepribadian narsistik,  karena ada kriteria lain yang harus dipenuhi untuk dapat mendiagnosa seseorang memiliki gangguan ini atau tidak. Dalam DSM-V dikatakan setidaknya harus ada 3 dari 12 gejala yang bertahan selama 6 bulan dan yang paling penting,  hal tersebut menganggu kehidupan sehari-hari (lebih lanjutnya sangat boleh lihat DSM-V hehe)

Jadi, bukan langkah yang tepat kiranya untuk langsung melabel orang yang hobi selfie sebagai orang yang memiliki gangguan narsistik. Meskipun,  hobi ini meningkatkan kecenderungannya dan bisa jadi salah satu gejalanya. (Yes,  itulah mengapa jawabannya tidak selalu)

Yes, selfie boleh, asal jangan berlebihan, kalau kata bang Roma mah, "yang sedang-sedang sajhaaa"  *ceilahh

Sebagai tambahan,  kasus kemunculan gangguan ini dalam banyak studi ditemukan lebih banyak terjadi pada laki-laki ketimbang perempuan. Meskipun tidak semua,  namun kita dapat melihat  kebanyakan akun media sosial laki-laki yang berisi hal-hal yang menujukan diri mereka sendiri,  dibanding perempuan yang lebih banyak memperlihatkan kebersamaan dan aktivitas bersama orang lain (ini sotoy). (Menurut penulis yang sotoy ini lagi) Hal ini mungkin disebabkan karena besarnya tuntutan untuk sukses pada diri laki-laki dilihat dari benyak etnis dan budaya, hal ini (bisa jadi) berujung pada self esteem yang rendah ditambah dengan laki-laki yang tidak terbiasa mengungkapkan perasaan mereka, situasi tersebut memungkinkan laki-laki mengubah atau merespon kondisi tersebut kedalam bentuk dan gejala seperti yang ada pada gangguan kepribadian narsistik.

Jadii,  setelah ini marilah kita jadi agen agen yang tidak lagi menebar stigma,  dan jadi faktor pendukung untuk orang-orang yang barangkali membutuhkan bantuan kita. 

Demi terciptanya dunia yang lebih baik bagi siapa saja, dimanapun berada ;)

#BreakTheStigma
#MentalHealthForEveryone
#ItsOkayNotToBeOkay
#ItsOkayToTalk

Sumber : InsyaAllah tulisan ini hasil pemahaman membaca,  meski penulis tidak menerapkan kaidah penulisan yang benar,  dengan tidak melakukan sitasi heeh (hayati lelah).

1. Barry, C. T., Doucette, H., Loflin, D. C., Rivera-Hudson, N., & Herrington, L. L. (2017). “Let me take a selfie”: Associations between self-photography, narcissism, and self-esteem. Psychology of Popular Media Culture, 6(1), 48-60. doi:http://dx.doi.org/10.1037/ppm0000089

2. American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and
statistical manual of mental disorders (5th ed.). Washington, DC:
Author.

3. Kring, A. M. (2010). Abnormal psychology. Hoboken, NJ: J. Wiley.

(berdasarkan intensitas informasi yang didapat hehe- Makasi udah baca sepanjang ini - dan menerima segala kerecehan didalam sini wkkw *terhura)

Komentar