Hidup untuk 'nyeni', 'nyeni' untuk hidup

EARTH wihout ART so we call it "EH" (?)

Perkenalkan, ini adalah sebuah monumen yang mejeng di Perpustakaan sebuah kampus yang menyandang nama sebuah bangsa berasaskan 5 sila, ya Perpustakaan Universitas Indonesia. 

Keberadaannya mungkin tak banyak diusik dan mengusik orang, banyak orang memandanginya sebentar lalu pergi. Memandanginya sebentar, lalu mengambil tongkat selfie, berfoto, dan kemudian juga pergi. Paling miris adalah sampai-sampai menabrak, memukulinya, dan mulai bertaya, bagaimana benda yang sebegitu besarnya itu bisa tidak terlihat?

Pagi ini setelah diskusi singkat dengan kaki dan juga akal, akhirnya kelas 'Teori Perkembangan'-pun harus berdamai karena tidak menjadi tempat yang dipilih pagi ini. Dalihnya sederhana "Belajar itu pasti, tempatnya itu pilihan-dan kelas hanyalah satu diantara banyak pilihan", ya karena belajar tak mesti di kelas. Dan manusia selalu punya kesempatan berkilah dan membuat alasan, ya yang seperti ini, haha lucu sekali. 

Akhirnya sampai di tempat ini, dan dibelantara perpustakaan lengang pagi hari menemukan ini,




"Ruang, Gerak, Hati

Irama dari bentuk ini mewakili proses belajar, kadang naik, kadang turun, tapi tetap jalan terus sambil mengingat suara orang tua, yang selalu memberi semangat, agar supaya selesai mencapai tujuannya.
Suara inilah yang menjadi satu bentuk dalam karya 3 Dimensi yang saya berikan untuk
Universitas Indonesia.

Iriantine Karnaya & Taufik Ismail
Bahan : Kayu Lapis Jati / 2011"



MasyaAllah, mengapa kata-kata bisa seindah ini. 

sekali lagi membacanya lumat-lumat. Lalu terdudu, untuk kemudian memandangi kayu pahat yang semula seolah hanya menghalangi jalannya para pelaju. 

Pagi ini, suara itu sampai, sebuah karya telah berkata-kata, ia bilang "hey aku bukan pajangan belaka, pandangi sebentar lalu maknailah aku". Pagi ini, lewat sebuah besi karatan yang berkata-kata, seorang gadis yang mangkir dari kelas mulai mengerti makna 'Kayu Pahat' besar diruangan ini. Setelah hampir dua tahun, dan ini adalah harinya, lama sekali memang, tapi lebih baik daripada tidak sama sekali. 

Lalu mulai bertanya,"Apa itu seni?" "Adakah orang yang tidak menyukai seni didunia ini?" "Apakah dunia bisa menerima seni, seperti mereka menerima aljabar? "Apakah agama menerima seni?" "Bisakah manusia hidup tanpa seni?".

Sebuah alat canggih abad 21 terkembang, dan memulai pencarian,

meskipun berasal dari sumber yang tidak cukup kredibel (menurut kaidah penulisan yang selama ini di doktrin di psikologi), tapi ya, ia menjadi jawaban di pilihan teratas dimesin pencarian paling masyur abad ini. Oke, jadi itu seni. Katanya untuk menjawab semua pertanyaan harus dimulai dari defenisi.

Jika seni adalah cara mengungkapkan perasaan, bukankah memang itu yang dilakukan manusia setiap saatnya? Mulai dari bagun tidur, hingga bangun tidur lagi. Mulai dari menguap, gosok gigi, tilawah, nonton tv, dan pergi kuliah sekalipun. Bukankah itu semua ekspresi dan ungkapan perasaan? 

Saat menguap, bukankah menguap merupakan keluaran dari rasa kantuk atau keinginan mendapat oksigen lebih, lalu mulut terbuka lebar sebagai upaya dalam bentuk bergerak mengambil udara sebanyak-banyaknya, dan walaupun agak mengerikan tapi menguap sekalipun masih dapat dikatakan indah karena manusia terkadang membubuhi nya dengan suara-suara yang unik dan menjadi lebih indah lagi karena merupakan ungkapan perasaan paling jujur dari tubuh manusia, siapa saja yang melihat 'perilaku' menguap tersebutpun akan langsung paham, bahwa orang yang melakukannya mungkin mengantuk dan butuh asupan oksigen tambahan, dengan begitulah, menguap sudah mempengaruhi perasaan orang lain. Dan taraaaa... menguap telah memenuhi semua aspek dalam seni. 

Meskipun dengan pengetahuan yang sangat minim, namun menurut saya, hidup adalah seni, dan seni selalu berbicara tentang kehidupan. Jadi, "adakah orang yang tidak menyukai seni didunia ini?" Bisa ada bisa tidak ada. Jika ada, mungkin perspektif seni buat sebagian orang itu masih lah terlalu sempit, teater, monolog, puisi, menggambar, mewarnai, memahat dan kawan-kawannya itu hanyalah cara, dan rupa-rupa dari seni atau ungkapan perasaan itu sendiri. Jika tidak, mungkin disaat itulah kita sudah mulai memaknai cinta, memaafkan, benci, marah dan kecewa sebagai jenis seni yang lebih dalam.

Lalu "bisakah dunia menerima seni seperti menerima aljabar?" Buat saya, bisa. bagaimana aljabar ditemukan? Mungkin kita bisa menjadikan rasa ingin tau sebagai tersangkanya.  Aljabar atau yang dalam bahasa arab "al-jabr" yang berarti "penyatuan kembali bagian yang rusak" adalah salah satu cara bagi Muhammad bin Musa al-Khawarismi untuk mulai menemukan cara menyelesaikan notasi kuadrat yang membuatnya bingung pada awalnya. Al-Khawarismi kemudian belajar untuk memenuhi kebingungan bercampur rasa ingin tahu nya yang meluap-luap itu, dengan belajar untuk kemudian menemukan 'aljabar'. Ya, belajar sendiri merupakan tingkatan seni yang selanjutnya. Saat ungkapan perasaan itu tak semata ditujukan untuk melepaskan, tapi juga menyelesaikan. 

Dan, "Apakah agama dapat menerima seni?'' ini adalah pertanyaan yang lucu, ya saya tentunya tidak akan menertawakan siapapun, karena pertanyaan ini muncul dari kepala saya sendiri. Kalau boleh, saya ingin menjawab "Bahkan agama sekalipun,". Suatu masa saya pernah hampir gagal mengirimkan sebuah CV pendaftaran beasiswa yang menekankan penerimanya untuk mampu menghafalkan Al-Quran, alasannya adalah karena saya masih teramat cinta pada dunia seni peran dan yang semacamnya, saya takut, ketika masuk nanti, mereka tidak bisa menerima keadaan dan kecintaan saya pada seni khususnya seni peran. Sejenak, saya merenung, dan akhirnya menuliskan essay yang didalamnya bercerita tentang betapa saya sangat mencintai seni, dan agama yang saya anut. Saya pun tidak berniat memisahkan keduanya.

Bagi saya, kepercayaan akan ketuhanan yang diungkapkan dalam sebuah agama merupakan tingkatan seni yang paling tinggi, itu lah saat manusia mulai menyadari betapa lemah dirinya dan betapa butuhnya ia akan kekuatan Maha Sempurna, yang sungguh pun tak berada diluar dirinya, melainkan lebih dekat dari urat nadi. Interaksi antara Tuhan dan hambanya adalah bagian paling indah dari sebuah seni, dan bentuknya adalah melalui firman-firman yang suci, yang dalam agama yang saya yakini bernama Al-Quran, dan saya yakin setiap agamapun memilikinya.

Ya, agama pun adalah tentang seni. Bagaimana saat seorang hamba jatuh dalam keputusasaan akan hidup yang memang melelahkan jika dijalankan dengan kekuatan sendiri, saat itulah ada sajadah tempat kembali, disana boleh berkeluh-kesah, waktunya pun boleh setiap saat, mulai dari ketika fajar menyingsing, atau matahari naik setinggi bayangan, atau saat malam ditengah lelapnya makhluk-makhluk lain tengah beristirahat. Saat bingung, boleh diungkapkan dengan rasa ingin tau, dengan mengkaji firman-firman paling indah dan menyelesaikan yang telah termaktub lengkap dalam kitab.  Karena, meskipun dianugrahi kemampuan logika luar biasa, logika manusia tak pernah  mencapai kesempurnaan logika milik Pencipta. Begitulah cara agama menuturkan seni, menyelesaikan dan menenangkan.

Tapi sayang, kebanyakan kita tak langsung mencari maksud serta makna saat keputusasaan dan kebingungan melanda. Sama ketika melihat Kayu Pahat diperpustakaan ini, kebanyakan yang lewat hanya memandang, atau justru nyeletuk karena keberadaannya yang menghalangi jalan. Tidak banyak yang mau tau, apa makna dari berdirinya ia ditengah-tengah keramaian seperti ini, hingga satu per-satu mulai melihat lebih dekat, dan menemukan lempengan besi tua yang hampir karatan disudut Kayu Pahat tersebut, dan mulai memahami, makna dari proses belajar sebagai "Ruang, Gerak, Hati"  yang disimbolkan dengan gelombang pada monumen Kayu Pahat tersebut. 

Terakhir "bisakah manusia hidup tanpa seni?", hmm mungkin tidak,

Tingkah laku adalah seni, ilmu pengetahuan adalah seni dan keimanan serta agama adalah tingkatan seni yang paling tinggi. 



Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal” “(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka” (Qs. Al Imron : 190-191).

sumber :
https://muslim.or.id/25618-bagaimana-allah-menciptakan-langit-dan-bumi.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Aljabar

Komentar