ROMANTIS

Romantis sama pohon, "Dian gak tau rasanya jadi pohon,
gimana sakitnya menjadi dewasa tanpa perawatan
untuk cuma-cuma ditebang dengan alasan sekedar
menghambat pemandangan,
tapi pohon, Dian ingin pohon tau
di dunia ini masih ada orang orang yang ingin hadir
membebaskan pohon dan keluarga pohon dari liarnya
penebangan, percayalah (Dian salah satunya),
"
Padang Mengatas, 2014
 
Apa itu ro-man-tis.


Apa yang dimaksud dengan romantis? Apakah hadiah liontin berlian di hari ulang tahun pernikahan? Ataukah sebuah tiket perjalanan ekslusif raja ampat yang mahalnya gak ketulungan? Atau mungkin sekedar pelukan hangat yang menenangkan?

Kalaulah kita bisa sedikit lebih terbuka tentang apa yang dipahami sebagai kata 'romantis', mungkin jawaban kita sama...

-------------

Semacam snack berbahaya yang membuat ketagihan, atau sejenis kuda poni lucu yang bikin sulit mengalihkan, apapun itu, terserah, kita sepakati saja bahwa setiap jawaban punya nilai yang setara, seperti aku dan kamu, dia dan mereka, entahlah, entah dimana hubungannya.

Suatu hari si wanita pengamat tengah berjalan-jalan sendiri di keramaian ibu kota nun katanya sibuk sekali. Sesuatu seperti biasanya, melantunkan langkah kaki, kemanapun ia hendak pergi. Melihat patung-patung yang ternyata  adalah manusia hidup seperti layaknya dirinya (si wanita), lucu ya, kini bukan patung yang mereplikasi wujud manusia, namun manusialah yang mulai suka merupa-rupa dirinya, agar mirip dengan patung, tak bersuara, tak bernyawa.

Patung (manusia) pertama terlihat seperti burung merak, yang lain seperti Patimura yang menunggu gaji bulanannya, diam dan mematung, karena benar ia tak pernah digaji untuk usahanya mengusir si (biasa saja) Belanda dari (si luar biasa) Indonesia. Ada lagi, rupanya seperti meniru-meniru sosok yang mirip gambar bapak-bapak berjenggot di saluran tv jam 12 malam, nama acaranya ''para pengusir hantu'', berbekal botol kaca bekas minuman soda warung bu Ija sebelah rumah, sebuah spidol hitam dan kertas putih (yang nanti gak putih lagi), tayangan itu siap diambil gambar lalu ditayangkan ke seluruh nusantara, dengan yaa sosok yang akhirnya dinamai genderuwo (dinamai tanpa perlu nyembleh kambing atau sapi terlebih dahulu). Begitulah, patung-patung (yang aslinya manusia) ini rapi berjejeran, menyuguhkan hiburan baru masa kini. 'Jepret-jepret dan luncurkan', sebuah senyum sempurna ala-ala siap disebarluaskan agar katanya tetap terhubung dengan teman sebelah kosan (yang lama jadi incaran).

Si wanita pengamat hanya memperhatikan dan sesekali menertawakan atau mungkin juga ditertawakan atas tingkah-tingkah tak beraturan yang coba di tampilkan, entah oleh manusia-manusia yang berseliweran, atau oleh wanita itu sendiri yang mengklaim hidupnya sangat menyenangkan.

Sampai dipesekian detik yang kesekian, sebuah momen agak langka (bagi si wanita pengamat) terjadi, seorang wanita lain yang ada di keramaian dengan bocah yang bergelayut di gendongan didepannya tengah menghadap seorang lelaki, yang barangkali seumuran yang juga menggendong bocah agak besar di bahunya. Dari kejauhan orang-orang akan bertanya, mengapa dan apa yang mereka lakukan, dua orang ini berhenti di perlintasan yang harusnya ramai lancar sore itu. Si wanita pengamat dengan tidak punya pilihan lain selain melewati jalan itu terus menerobos, untuk kemudian bergumam kecil "Ya Allah, romantisnyaa".

Bukan, bukan, sepasang manusia yang kelihatannya suami-istri itu tidak sedang melakukan adegan berdua-dua-an tidak halal ala Romeo dan Juliet di hari kematiannya. Ya, si bapak suami sederhananya sedang meniup-niup mata gadis (yang kini dapat dipastikan tidak gadis lagi) yang ada dihadapannya. "Coba bund dikedip-kedipin lagi" ucapnya lembut pada sosok didepannya. "Belum, masih perih, tiup lagi coba yah", sanggah wanita itu sambil tersenyum, seraya dua bocah yang sedang menggelayuti mereka hanya diam menanti adegan 'niup-niup mata kemasukan debu' itu usai.

Ya Tuhan, bahkan debu yang gak sengaja masuk mata aja bisa jadi alasan dari terjadinya hal paling romantis dimuka bumi hari ini, gumam si wanita pengamat untuk kedua kalinya. Itulah, saat wanita pengamat menemukan hal yang tiba-tiba ia pandang romantis, dan mulai berkontemplasi tentang "apa itu romantis" yang sebenarnya.

(bagian yang agak penting)
Apa yang dimaksud dengan romantis? Apakah hadiah liontin berlian di hari ulang tahun pernikahan? Foto kedekatan after wedding yang membuat para tamu undangan terkesima? Ataukah sebuah tiket perjalanan ekslusif raja ampat yang mahalnya gak ketulungan? Atau mungkin sekedar pelukan hangat yang menenangkan? Keinginan menghibur dikala gundah datang tanpa undangan? Atau juga kesiapan untuk menjadi yang pertama-tama hadir memberi tiupan saat debu nakal masuk ke mata mereka yang kita cinta?

Apa saja tindakan manis dan spesial yang diberikan bagi mereka yang kita anggap berharga, sepertinya sah-sah saja mendapat itu label 'romantis' yang kita bahas sedari tadi. Termasuk mungkin yang terlalu sederhana dan keliatan tidak ada romantis-romantisnya, sebut saja meluangkan waktu untuk mendengarkan cerita dari ia yang sejak pagi mengurusi rumah dengan segala keruwetan-nya, atau sekedar tersenyum menyambut kepulangan ia yang berusaha keras memberi sedikit uang belanja, di depan teras dengan sebuah tawaran teh hangat tentu saja. Atau juga menatap matanya yang penuh amarah akibat sedikit kesalahpahaman dan kemudian memberinya pelukan beruang sebagai bentuk damai dari percekcokan yang baru saja berlangsung, atau mungkin sesederhana tertawa yang sedikit dipaksakan agar ia jadi tenang ditengah ke-was-was-an menanti kabar dokter berkenaan kondisi terkini si buah hati. Semuanya, romantis apa adanya.

Kalaulah kita bisa sedikit lebih terbuka tentang apa yang dipahami sebagai kata 'romantis', mungkin jawaban kita sama, romantis adalah tentang 'kehadiran'. Saat dunia menjadi begitu kejam, namun seseorang datang dan siap berbagi segala ragam perasaan, tidak perlu liontin berlian, tidak perlu tiket raja ampat, dengan kehadiran, maka tercukupkanlah semuanya.

Jadi hari ini apa yang si pengamat pelajari adalah, bahwa romantis memanglah tidak sesempit foto kedekatan yang terpampang di layar-layar digital, tidak pula serumit angka-angka perhitungan agar kita jadi pergi liburan, serta lebih indah dari liontin yang disesaki berlian, ia adalah 'kehadiran', menjadi yang pertama-tama hadir saat beratnya masa ujian kebersamaan. Juga barangkali, kehadiran, di hari dimana saatnya harus merelakan.

Kota Tua, 6 Agustus 2017

Komentar