T(umb)uh

Di tulis di Rooftop (sebagai upaya menghirup sebanyak-banyaknya udara agar terjauh dari biang-biang kantuk paska sahur)
Sabtu pagi bersama kicau burung dan tanaman di atap, 25 April 2020

bengkel sehat hiwa ditengah keharusan #dirumahaja


Setelah diizinkan melakukan aksi penyelamatan kebutuhan stimulus dan perwujudan dari membuat rooftop idaman oleh sang pemilik rumah, disinilah kita sekarang. Menghabiskan pagi demi pagi untuk melihat perkembangan si biji bijian di dalam pot dan pertumbuhan cat-cat air di tembok.

Yak, disaat seperti ini rumah harus bisa jadi apa saja. Jadi tempat rebahan, mandi dari kebusukan dunia, tempat mendekatkan diri dengan Tuhan, tempat mengenyangkan cacing besar alaska dalam perut (aka karantina master chef?),  juga tempat rekreasi bagi indra yang lama merindu dunia yang selama ini dikira hanya ada duluar rumah. Segala yang hijau, dan segala yang berombak. Rasanya seperti sedang masuk kuliah praktek "cara menjadikan rumah, sebenar-benarnya rumah" :"'). Semoga di akhir dinyatakan lulus oleh universitas kehidupan yang sedang berlokasi di rumah ini.

Karena hal itu, segala tentang tanaman menjadi menarik (berhubung karena ia merupakan bagian dari rooftop idaman). Sesuatu yang dulu sering dikeluhkan ibu-ibu kepada anak gadis yang lahir diakhir abad 20, "kenapa sih, anak sekarang ga ada yang bisa pelihara bunga (mungkin lebih halusnya : kenapa sih gak ada yang hobi nanem)". Ya, selamat ibu, mungkin ngomel-ngomelnya dulu telah merangsek menjadi doa yang terpantul-pantul keseluruh penjuru muka bumi, meski setelah 15 tahun baru mengenai si objek omel. Aktivitas membeli tanah (berhubung dirumah udah ga ada tanah), bibit, dan bunga menjadi hal yang selalu menyenangkan dari kucing-kucingan keluar di masa karantina. Hingga suatu hari niat beli sayur harus dibayar oleh pengeluaran lebih besar untuk membeli pot dan tanaman baru. Memang dunia ini, ada-ada saja yang membuat niat melenceng ditengah jalan.

Namun bertani di kota atau dimanapun itu tidak semudah menaruh bibit di media tanam, lalu besok pagi bisa makan kangkung dari kebun sendiri.

Karena, kembali teori dasar dari syarat keberhasilan segala sesuatu (yang selalu di tampik umat manusia) : "Semua harus ada ilmunya", "semua harus ada mencoba dan gagalnya".

Dan begitulah, salah satu newbe percocoktanaman ini pun sempat merasa frustasi karena usaha menampik teori tersebut. Sebelum akhirnya ia bertanya kepada ahlinya (yang dulu dikenal tidak sengaja lewat pertemuan di sebuah seminar- ah.. memang mantab sekali sambung-menyambung kehidupan ini), dan mendapat tawaran untuk menjadi peserta di komunitas petani kota yang sedang dirintis. Mantab! Alhasil, ia pun akhirnya menjalankan kelas online pertama tentang pertanian urban, *setelah selama ini lebih memilih main cat air tidak jelas kalau tanamannya gagal karena tidak habis pikir mengapa harus memilih pekerjaan yang mengharuskan membuka laptop ditengah keluangan melakukan segala yang selama ini tidak bisa dilakukan (ayolah.. selesai pandemi kita semua akan pakai laptop lagi *pikirnya). Tapi, ah tentu saja semua orang punya cara yang berbeda menyisipkan makna dari waktu yang tersedia.

Berdasarkan kelas online dan kelas dunia nyata yang penulis jalani, ada beberapa poin yang sangat ngena dari kegiatan main harvest moon versi real ini.

1. Berkebun adalah proses healing yang cukup ampuh. Beberapa proses dalam berkebun bisa menjadi terapi tersendiri untuk mengurangi stres, salah satunya adalah saat mengaduk tanah dengan campuran lainnya (bisa sekam, kompos dll). Mbak narasumbernya cerita waktu Pak De mengumumkan mentri pertahanannya, mbak nya langsung melampiaskannya emosinya dengan mengaduk tanah-tanah di kebunnya (betapa ngakaknya).

Tapi ini benar banget sih, pengalaman penulis mengaduk tanah selama bermenit-menit (sebelum mengikuti kelas onlen ini) telah memunculkan pertanyaan sendiri "why this is so fun?". Mungkin juga kesenangan itu bertambah karena kelegalan memegang benda yang dulu selalu diasosiasikan dengan sifat kotor. Padahal tanah itu baik yekan, bahkan dipake buat bersihin najis (ya tanah apa dulu? wkwk).

Jadi keinget dulu ada ibu-ibu cerita tentang anak manusia yang tiba-tiba makan tanah karena dia kira itu coklat. Terus pas si anak gedean dikit dan diceritain hal itu, dia malah makan biji jeruk sambil bilang "abis ini aku bisa numbuhin jeruk dong dari badanku?". Dasar, manusia absurd. Pantes sampe gede begini wkwk. Tapi menarik, sejak kecil sekali manusia udah punya konsep menanam dalam pikirannya, hmm apakah menanam termasuk inner knowladge? Entah, jangan paksa penulis menemukannya.

mengaduk masalah dengan keyakinan bahwa masalah bakal pergi (meski besok datang lagi wkwk)


2. Dari berkebun kita akan belajar untuk sabar dan menghargai proses. Salah satu narasumbernya bilang, sebenarnya yang lebih menyenangkan  ketimbang bisa memanen hasil kebun adalah melihat proses sebutir biji itu tumbuh hari demi hari

Yap, seratus buat kalimat super klise diatas. Pengalaman pecocoktanam newbe ini juga menemukan kebahagiaan tak terperi dari menemui biji biji yang ditanam tumbuh sedikit demi sedikit. Rasanya tiap pagi jadi lebih berarti melihat mereka: tumbuh. Mungkin berkebun juga bisa menjadi wahana pelepasan kebutuhan nurturing (taking care of something) yang katanya banyak dimiliki perempuan, ya sama kayak pelihara hewan, tapi ini sensasinya beda karena dia tidak bersuara dan penuh misteri wkwk.

Pembelajaran lain dari memaknai belajar dan tumbuh ini juga penulis dapat ketika waktu itu ada salah satu bunga yang karena kekurangan elmu pengetahuan main di pindah dan potong dengan dalih ingin mengurangi bagian tumbuhan yang gersang. Tindakan itu malah bikin si bunga makin layu dari hari ke hari. Tapi yang unik, waktu pemiliknya udah ikhlas dan mulai memotong daun-daun tanpa nutrisi yang tertancap di dahan, dia malah menemukan tumbuhnya daun baru yang keci-kecil dan tunas bunga baru. Sungguh itu pemandangan yang mengharukan. Kayak tumbuhannya bilang "hei aku gak mati, aku lagi mencoba beradaptasi". Sebuah pelajaran yang sangat bisa digunakan untuk kehidupan sehari-hari. Ah, keren sekali sistem alam ini mengajarkan kita untuk tidak buru-buru putus asa, simpel karena kadang kita cuma butuh sabar karena ada waktu yang diperlukan untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan yang serba dinamis ini. Maka sejak itu penulis tetapkan bahwa tanaman-tanaman ini adalah salah satu guru favorit dari kelas kebijaksanaan di universitas kehidupan ini, Tok! *ceritanya suara palu

adaptasi memang butuh besar hati


3. Tanaman itu seperti manusia, dan kualitas tanah (media tumbuh) itu seperti latar belakang kehidupan yang tidak terpisahkan dari tanaman. Dan.. satu poin yang cukup menggugah adalah bertani di kota itu bukan cuma soal mendapat manfaat ekonomis dari bisa menghasilkan makanan dari kebun sendiri, tapi juga ada manfaat lingkungan dimana kita sebenarnya sedang berusaha memperbaiki tanahnya (terlepas dari gagal atau berhasil proses berkebun itu) .

Ya seperti manusia yang butuh matahari, tapi kalau kelebihan jadi gosong, butuh air tapi kalau kebanyakan jadi manusia glonggongan wkwk. Dinamis dan ga ada rumus khusus keberhasilan, jadi satu pola bisa berhasil disatu waktu dan gagal daiwaktu lain : gagal dalam nenem itu sangat biasa katanya. Tanaman juga punya proses dari biji sampe jadi sesuatu yang beguna buat manusia. Nah dalam menjalani proses ini, wajarnya akan selalu ada tanah yang menemani. Kata narsumnya, kita sering lupa kalau kualitas nutrisi tanah itu sangat mempengaruhi nutrisi tanaman : nutrisi makanan kita. Sehingga jadi penting untuk memperhatikan tanahnya. Makanya kegiatan urban farming ini sebenarnya bukan hanya berorientasi dengan keberhasilan mengurangi pengeluaran, tapi juga proses mentanahkan tanah (ea), jadi gak peduli gagal atau berhasil ; karena kita sedang dalam proses menyayangi tanah-tanah yang selama ini menopang kehidupan kita.

Karena mengetahui hal ini setelah kelas online, newbe percocoktanaman jadi berniat untuk memberikan treatmen pada tanah artificial (media tanam) yang ia beli (yang kalau boleh jujur sangat tidak subur dan butuh banyak campuran benda lain *biasanya nyuri sekam dari bunga yang sudah terberi*). Ia pun menjemur semua media tanamnya dengan harapan ia bisa ikutan menyerap vitamin D sambil bermain main dengan semua tanah yang terhampar itu wkwk. DANN.. terkejut lah ia karena ia menemukan beberapa cacing yang ada di tanah tersebut, ia pun terharu dan berterimakasih atas kesediaan cacing-caing tersebut karena sudah mau tingggal di tanah jadi-jadian ini.

berdasarkan vn keponakan ia ingin menanam juga biar bisa numbuhin cacing (mantab, soon bakal ada bibit numbuhin cacing wkwk)


Dan yahh.. ternyata bercocok tanam bisa se-handal terapis di pusat-pusat krisis. Mungkin suatu hari akan ada psikolog yang menggunakan pendekatan berkebun untuk membantu klien-kliennya, terutama untuk keluhan sulit mindful dan kecemasan berlebih wkwk.





Selamat bertumbuh juga untuk kita, untuk kamu, dimanapun berada.

























Komentar