Tuan dan Nona : "Gunung atau laut?"

Danau dan dataran (Belitong, Rumah Siput 27 Juli 2017)

Tuan : Hei hei, mengapa sangat murung nona. Kalau sedang begini kau biasanya akan menanyakan "apa itu warna" "bagaimana alfabet ditemukan" atau sekedar memberi penilaian tentang "kesukaanmu pada hujan". Apa yang berbeda dengan hari ini?

Nona : Mana yang kau pilih, gunung atau laut?

Tuan : Sudah kuduga, rupanya kau sedang menyiapkan pertanyaan ya?

Nona : Sudah jawab saja, gunung atau laut?

Tuan : Kalau kau?

Nona : Lha, aku kan yang bertanya lebih dulu?

Tuan : Kau yakin?

Nona : Ayolah, ini masih pagi dan aku tidak ingin berdebat.

Tuan : "Apa yang berbeda dengan hari ini?" Seingatku itu pertanyaan, tapi entahlah denga..

Nona : Baiklah-baiklah, aku suka gunung,

Tuan : Apa sekarang aku harus bertanya "mengapa"?

Nona : Ya, kau harus, dengan kalimat tanya yang lengkap.

Tuan : Baiklah, "mengapa nona yang sedari tadi merenung di sebelahku ini lebih suka gunung ketimbang laut?"

Nona : Hmm, menurutku, gunung memberi kesempatan manusia untuk berupaya, bekerja, berkeringat, dan berharap, setidaknya berharap agar dapat menyaksikan terbitnya matahari esok pagi di puncak gunung. Sementara laut.. (nona terdiam)

Tuan : kau boleh teruskan, jika belum tuntas..

Nona : Sementara laut, entahlah, ia hanya mengizinkan kita untuk merenung, memikirkan berbagai hal yang bisa jadi mustahil kesampaian. Aku rasa, matahari terbenam tak benar-benar mengisyaratkan hal yang baik. Tidak banyak yang bisa kita lakukan saat di laut.

Tuan : Hmm, bukannya baik jika sesekali kita merenung? Karena,oh Tuhan!, jika manusia terus-terusan bekerja maka kita mungkin tidak ada bedanya dengan robot. Jika kita terus-terusan berlari, kapan kita akan memahami petunjuk jalan dan mengetahui apakah kita berada di jalur lari yang tepat atau tidak. Bukankah kita sesekali memang butuh berhenti, dan mulai memaknai segalanya nona?

Nona : Iya, aku paham soal itu. Tapi, dalam renungan yang terlalu jauh, jika tak mampu membendungnya, ombak yang memanggil-manggil hanya membuat kita terburu-buru membuat keputusan. Tuan, kau tau kan, ada banyak orang memilih mengakhiri hidupnya di laut.

Tuan : Begitupula di gunung, nona.

Nona : Ha, masa? Yang ku tau orang-orang ke gunung dengan semangat yang meluap-luap, bagaimana mungkin mereka memilih mengakhiri hidup mereka saat berada dalam fase berharap?

Tuan : Siapa yang tau? Kita tidak tau kan, apa yang benar-benar seorang manusia harapkan, seperti yang pernah kau bilang. Siapa yang bisa memastikan bahwa benar yang mereka harapkan itu adalah melihat matahari terbit, entahlah, kebanyakan orang saat ini melakukannya hanya untuk menunjang eksistensi. Kau tau, jepretan kamera diusung likes yang tak terhingga mungkin lebih diperhitungkan ketimbang matahari terbit yang kau sebutkan. Nah, dengan harapan yang seperti itu siapa menyangkal mereka jadi tidak awas, terjatuh, dan.. berakhir pula kehidupannya.

Nona : Hey, tapi itu kecelakaan.


Tuan : Kecelakaan yang terprediksi kan maksudmu.

Nona : Yang benar saja ada kecelakaan yang terprediksi, baik baik.. aku paham. Tapi, tidak mungkin semua orang ya kan? Dalam kurva normal pasti ada pencilan. Dan lagi, bisa saja mereka hanya ingin mengabadikan momen, merayakan kebersamaan, dan untuk melawan lupa, ya kan?

Tuan : Kau terlalu berpositif thinking terhadap gunung, sementara tak memberi ruang pada laut. Ayolah, di laut orang-orang pun pergi piknik dengan keluarga, berenang, melihat ikan, bermain pasir, berdansa di kala matahari terbenam dan banyak hal lain. Nona, ada hal yang kau tak boleh lupa, di dunia ini orang-orang tak hanya berakhir dalam keadaan putus asa, tapi juga dalam keadaan terlalu berharap.

Nona : Hmm..baiklah, sekarang aku mengerti maksudmu.

Tuan : Lalu sekarang..

Nona : Kau simpulkan lah, kau yang sedari tadi sangat bijak kan?

Tuan : Nona yang bertanya, maka yang bertanyaah yang sebaiknya menyimpulkan, bukan begitu?

Nona : Baiklah, dariku, dua-duanya sama baik dan sama buruknya, seperti itu kan?

Tuan : Bagaimana kalau, kita butuh gunung seperti kita membutuhkan laut, begitupula sebaliknya. Jika kau menyukai saat-saat berjuang, berharap bahkan  saat menyaksikan matahari terbit di puncak gunung, bagaimana kalau kita juga menyukai saat-saat dimana harus berhenti sejenak, merenungi apa-apa pernah terjadi, dan memaknai bahwa suatu saat memang matahari harus terbenam,..

Nona : untuk kemudian terbit lagi. Ya kan? (nona tersenyum berbinar-binar)

Tuan : Nah, itu yang aku tunggu sejak tadi,

Nona : Jawaban itu?

Tuan : Bukan, senyum itu.

Nona : (wajahnya memerah) tapi, jika kau diminta untuk memilih, ingin mendirikan rumah di tepi laut, atau di kaki gunung, kau akan memilih yang mana tuan?

Tuan : Baiklah, aku akan memilih di dataran saja, tidak jauh dari gunung, pun tidak jauh dari laut. Disana, barangkali aku akan mampu memahami keduanya dengan tidak berat sebelah, karena aku tak perlu berlebihan dalam berharap maupun berputus asa! Aku sesekali akan pergi ke gunung untuk melihat matahari terbit dari posisi terbaiknya, dan akan ke laut untuk merenungi betapa adilnya alam ini untuk menyajikan ku pemandangan matahari terbenam seindah yang di sediakan di tepi laut. Wah, hidupku tentu akan sangat bahagia ya kan?

Nona : Tergantung.., kau tinggal dan pergi dengan siapa?

Tuan : Dengan orang yang sebentar lagi akan mentraktirku es krim, tentu saja.

Nona : Hmm, apa aku harus penasaran siapa orang itu?

Tuan : Nona, kau yang harusnya mentraktirku! Bagaimana mungkin aku ingin orang lain yang melakukannya?!

(Nona tersenyum)

Kini, nona telah paham, bahwa gunung dan laut sama saja pentingnya dalam mengisi alam dan juga kehidupan, bahwa matahari terbit dan terbenam sama saja menariknya. Dan betapa dataran juga tidak boleh dilupakan untuk menghargai posisi keduanya.

----

"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya siang dan malam, terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata) : 'Tidaklah Engkau ciptakan semua ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau dan periharalah kami dari api neraka" (QS Ali Imran : 190-191)
"Cintailah sekedarnya, dan membencilah sekedarnya"-Ali Bin Abi Thalib
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”. [Ali ‘Imran/3:190-191].

Sumber: https://almanhaj.or.id/3533-renungkanlah-ayat-ayat-allah-azza-wa-jalla.html
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”. [Ali ‘Imran/3:190-191].

Sumber: https://almanhaj.or.id/3533-renungkanlah-ayat-ayat-allah-azza-wa-jalla.html

Komentar

  1. Aku ingin tahu, kenapa kau memilih berada diantaranya, kau membuat sebuah pernyataan seakan-akan itulah fakta untuk seribu umat.
    Tapi semua hanyalah sebuah persepsimu.
    Semua orang juga tahu.Tak mudah berada " diantara" dan kemudian dibilang " bijak " .Ini juga cuma persepsi tapi menurut ku " gunung atau laut - kita tak harua berada ditengahmya untuk merasa bahagia, tapi membuat pilihan yang tepat akan salah satu nya, dan berjuang untuk nya adalah pilihaan yang tepat"
    Apapun itu, aku suka tulisan mu .

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sebenarnya tentang persepsi, lagi-lagi setiap orang telah dibebaskan akan pilihan dari persepsi itu sendiri, menggunakan persepsi sendiri atau persepsi orang lain, ya, sama saja bebasnya. Jadi kalau "pernyataan itu seakan-akan fakta seribu umat" mungkin itu juga bagian dari persepsi.

      Ya, setuju, setidaknya sangat menyenangkan untuk masih dapat memeilih dan berjuang untuk apa yang kita pilih, apapun itu. Terimakasih sudah mampir dan memberi saran ;) di tunggu saran-saran berikutnya yaa

      Hapus

Posting Komentar